Kisah Penembakan Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap (Bagian 1)

Naviri Magazine - Kabar perampokan sampai ke telinga Mardiono (bukan nama sebenarnya), di sebuah pagi pada 1983. Toko emas yang terletak di ...


Naviri Magazine - Kabar perampokan sampai ke telinga Mardiono (bukan nama sebenarnya), di sebuah pagi pada 1983. Toko emas yang terletak di salah satu kawasan pasar di Surabaya disantroni sekelompok bandit. Menurut keterangan pemilik toko, pelaku menggasak habis seluruh emas yang ada. Mereka terdiri dari empat orang yang beraksi dini hari. 

Operasi pencarian digelar aparat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI), didukung Brigadir Mobil (Brimob) serta polisi lokal. Jumlah yang terlibat hampir mencapai ratusan personel dan Mardiono turut berada di dalamnya. Lengkap dengan persenjataan berat, aparat menyisir setiap sudut di Surabaya.

Setelah berminggu-minggu menjalankan operasi, keberadaan keempat tersangka akhirnya diketahui. Dua orang berada di Kabupaten Nganjuk, sisanya bersembunyi di sekitar Rungkut, Surabaya, yang terkenal sebagai kawasan industri terbesar Jawa Timur. Mardiono kedapatan jatah bergabung dengan tim yang dikirim ke Nganjuk.

Hari penghakiman tiba. Mardiono berada di garda terdepan, bersama empat personel Brimob serta lima serdadu ABRI. Di suatu kampung yang tak jauh dari alun-alun kabupaten, para pemburu ini bergerak secara kilat sekaligus taktis. Tak lama berselang, seorang serdadu menemukan lokasi persembunyian para bandit. Oleh komandan lapangan, pasukan langsung diperintahkan mengambil posisi.

Mardiono mengambil spot yang strategis untuk membidik target. Dia mengambil napas dalam-dalam, di tengah keheningan malam. Tak lama sesudahnya bunyi peluru bersahutan membelah udara. Dua orang pelaku yang lama diburu tewas ditempat, tanpa satu kali pun melewati proses peradilan.

Operasi hari itu boleh saja rampung, tapi tidak dengan hari-hari setelahnya. Awal dekade 1980-an merupakan periode sibuk aparat keamanan lintas satuan dan divisi. Mereka punya satu musuh bersama yang wajib dihabisi: mereka yang dianggap kriminal.

Selagi para aparat menganggap tugasnya adalah wujud kewajiban dalam menjaga roda ketertiban, kelak masyarakat Indonesia mengenal masa tersebut sebagai noktah kelam yang pernah diciptakan rezim Orde Baru.

Orang-orang menyebutnya penembakan misterius, atau populer dengan julukan "petrus."

"Saya enggak pernah kepikiran untuk jadi polisi," kata Mardiono, di rumah petak kecilnya di pinggir Jakarta Timur.

Pada 1942, tiga tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan Sukarno-Hatta di Pegangsaan Timur, Mardiono lahir ke bumi. Ayahnya anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI, sementara ibunya pedagang pasar. Masa kecil Mardiono dihabiskan di Gempol, Pasuruan, Jawa Timur, bersama tiga saudaranya. Mardiono paling bontot.

Waktu berjalan, dan Mardiono tumbuh dewasa. Ayahnya memintanya jadi tentara. Mardiono menolak dan memilih bekerja sebagai supir pengangkutan barang di Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Idealismenya itu perlahan luntur sebab bujukan sang kakak, yang lebih dulu mengikuti jejak sang ayah di medan tempur.

"Kakak saya bilang kalau saya punya fisik yang bagus. Saya dibilang kuat dan bisa lari cepat," kenang laki-laki 76 tahun ini. “Sangat disayangkan kalau bakat itu tidak dimanfaatkan.”

Selepas diyakinkan lebih dari sekali, Mardiono terbujuk juga. Pada 1961, dia mendaftar ke Brimob dan menjalani pelatihan intens di Pusdiklat Watukosek.

Tugas pertama Mardiono terjadi pada 1963, manakala dia diminta terbang ke Sulawesi Selatan buat menumpas pendirian negara Islam Kahar Muzakkar, pemimpin laskar setempat yang memberontak, lalu bikin rezim Sukarno kelimpungan. Selang dua tahun, Mardiono kembali dilibatkan dinas berskala besar, kali ini memberantas anggota, simpatisan, maupun mereka yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Waktu geger 1965, saya [ditempatkan] di Blitar. Di sana, saya membantu menangkapi [anggota] PKI [yang berada] di bawah tanah, yang enggak kelihatan," ujar Mardiono yang sampai sekarang menganggap pembantaian jutaan orang dianggap komunis di Tanah Air adalah hal yang layak dilakukan.

Pertengahan 1970-an, Mardiono lagi-lagi memperoleh tugas penting dengan bergabung dalam Operasi Seroja yang ditujukan untuk menghajar Fretilin, kelompok pro-kemerdekaan bumi Timor Lorosae. Di sana, Mardiono diperbantukan di bagian logistik, mengangkut perlengkapan militer semacam peluru hingga senapan. Operasi Seroja menjadi keikutsertaan terlamanya dalam tugas kedinasan, selama dua tahun.

Baca lanjutannya: Kisah Penembakan Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap (Bagian 2)

Related

Indonesia 6864032054563627800

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item