Mengapa Orang Suka Nulis Status di Media Sosial? Ini Jawaban Ilmiahnya


Naviri Magazine - Salah satu ciri manusia beradab, katanya, adalah memiliki akun di Facebook atau Twitter. Dua media jejaring sosial itu sekarang memang telah digunakan berjuta-juta orang dari seluruh penjuru planet, untuk “numpang status”—memungkinkan siapa pun untuk menceritakan dirinya kepada dunia. 

Makin hari, jumlah penggunanya juga semakin bertambah. Bukan hanya para remaja, tetapi juga orang dewasa dan orang tua.

Beberapa pengguna Facebook atau Twitter menggunakan kedua media itu untuk tujuan bisnis, dan kita tidak akan membahasnya, karena latar belakang serta tujuan mereka sudah jelas. Yang akan kita bicarakan adalah orang-orang yang murni menggunakan Facebook atau Twitter untuk sekadar nulis status. 

Umumnya, mereka akan menuliskan sedang apa, di mana, atau bersama siapa—kadang dilampiri foto. Kadang pula mereka menuliskan pikiran, keluh kesah, atau bahkan curahan hati.

Jika kita perhatikan sekilas, kegiatan itu sebenarnya tidak memberikan manfaat yang jelas, bahkan kenyataannya status-status yang dibuat pun sering kali tidak penting. Tapi ada jutaan orang yang sangat senang melakukannya, bahkan tidak sedikit yang sampai “kecanduan” Facebook atau Twitter. Jika sehari tidak nulis status di kedua media itu, rasanya ada yang kurang. Jangan-jangan kita juga mengalaminya?

Mengapa banyak orang yang sangat suka menulis status di Facebook atau Twitter? 

Selama ini banyak pihak yang menyimpulkan bahwa kecenderungan manusia untuk menceritakan dirinya sendiri—termasuk dalam status-status yang dipasang di Facebook atau Twitter—disebabkan karena keinginan untuk dekat dengan orang lain. Dengan membuka diri terhadap orang lain, maka akan membuat orang lain percaya, sehingga akan terjalin pertemanan. 

Tapi ternyata tidak cuma itu. Berdasarkan penelitian terbaru, kecenderungan orang menceritakan dirinya sendiri juga mempengaruhi pelepasan senyawa kimia di otak, yang memberikan perasaan menyenangkan—tak jauh beda ketika membicarakan seks atau makanan kesukaan.

Para ilmuwan dari Harvard University melakukan serangkaian percobaan untuk mengetahui seberapa banyak orang suka membicarakan diri sendiri, dan mengapa mereka melakukannya. Para peneliti memindai otak manusia yang sedang menceritakan informasi pribadi tentang dirinya sendiri, atau ketika menilai kepribadian orang lain. 

Dalam eksperimen lain, para peneliti menguji apakah orang lebih suka menjawab pertanyaan tentang dirinya sendiri, orang lain, atau fakta yang bersifat netral. Peserta penelitian mendapat tingkat kompensasi yang berbeda, tergantung pertanyaan yang dipilih. 

Studi yang dipimpin Diana I. Tamir dan Jason P. Mitchell di departemen psikologi Harvard University itu menemukan kesimpulan yang sama, yaitu manusia mendapatkan dorongan biokimia ketika menceritakan dirinya sendiri. 

Penelitian itu menemukan bahwa secara rata-rata manusia menghabiskan sekitar 40 persen percakapannya untuk membicarakan diri sendiri, dan hal itu karena didorong oleh senyawa kimia dalam melakukannya.

Para peserta penelitian menjalani scan fMRI, dan terlihat bahwa ketika mereka berbicara tentang diri sendiri, atau ketika menyampaikan informasi yang bersifat pribadi, hal itu memicu aktivitas daerah otak yang terlibat ketika menanggapi penghargaan, atau seks dan makanan. 

Sedangkan ketika membicarakan orang lain (dalam hal ini bukan untuk tujuan bergosip) tidak memicu aktivitas serupa. Artinya, membicarakan diri sendiri memang terasa nikmat—tak peduli secara lisan atau tertulis.

Untuk menguatkan dugaan di atas, para peserta dalam penelitian itu ditawari sejumlah uang. Jika mereka mau menjawab pertanyaan seputar diri sendiri, jumlah uang yang ditawarkan relatif kecil. Namun jika mereka mau menjawab pertanyaan seputar orang lain atau objek lain, jumlah uang yang ditawarkan lebih besar. 

Ternyata, para peserta bersedia melepaskan 17 sampai 25 persen uang yang dapat diterima, hanya untuk menjawab pertanyaan tentang diri sendiri. Ketika imbalan yang ditawarkan sama, masing-masing mereka lebih memilih membicarakan diri sendiri sebanyak dua pertiga dari waktu yang diberikan. 

Berdasarkan kenyataan itu, terlihat bahwa orang bahkan rela kehilangan sejumlah uang demi bisa membicarakan diri sendiri!

Dalam studi tersebut, para peneliti juga menemukan bahwa orang sangat senang jika mengetahui orang lain mendengarkannya—kebenaran paling tua di muka bumi. Jason Mitchell menyatakan, “Efek ini diperkuat oleh pemahaman bahwa pendapat seseorang akan dikomunikasikan kepada orang lain. Hal itu menunjukkan bahwa orang mencari peluang untuk mengungkapkan pikirannya kepada orang lain agar dihargai.”

Penemuan itu diterbitkan Proceeding of the National Academy of Sciences pada pertengahan 2012. Tetapi, lebih dari setengah abad sebelum para peneliti di Harvard mengungkapkan kenyataan itu, Dale Carnegie telah menunjukkan fakta yang sama, bahwa keinginan paling besar setiap manusia adalah keinginan untuk didengarkan. 

Dalam bukunya yang fenomenal, How to Win Friends and Influence People, Dale Carnegie menunjukkan bahwa kebutuhan manusia untuk didengarkan setara dengan kebutuhan pada makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan kesenangan. 

Sekarang, ketika komunikasi manusia telah dijembatani berbagai media—termasuk Facebook dan Twitter—naluri manusia tak berubah. Mereka tetap ingin didengarkan, ingin tetap membicarakan diri sendiri, meski cara yang digunakan adalah menulis status. Mungkin isi status mereka tidak penting bagi orang lain, tapi mereka menganggap itu penting—sebegitu penting, sampai-sampai mereka sangat senang ketika statusnya mendapatkan “like”, atau memperoleh mention. 

Di zaman prasejarah maupun di zaman digital, filsafat satu mulut dua telinga rupanya tetap relevan.

Related

Science 8718438585988068402

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item