Hasil Studi: Kemiskinan Berpengaruh Buruk Terhadap Otak Manusia (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Hasil Studi: Kemiskinan Berpengaruh Buruk Terhadap Otak Manusia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Ketika kita stres, hormon stres kortisol membanjiri hippokampus dan area otak lainnya, seperti korteks prefrontal.

Dengan stres berkelanjutan, hippokampus jadi kewalahan. Ujung-ujungnya, struktur otak jadi terganggu, yang dapat merusak ingatan dan proses belajar. Dampak stres ini rentan ditemukan pada pengidap PTSD, yang hippocampus-nya cenderung lebih kecil dan kurang aktif selama penugasan ingatan. 

Namun hal ini juga terlihat pada orang-orang dengan SES rendah, yang memiliki tingkatan kortisol lebih tinggi. Lebih parahnya: respons otak kita cenderung membaik setelah ancaman tersebut teratasi. 

"Sekalinya kita menyadari bahwa ancaman itu telah hilang atau telah usai, kita secepat mungkin menurunkan tingkatan stres, karena paparan terhadap hormon stres terlalu lama bisa jadi buruk bagi kesehatan," ujar Farah. 

Namun beberapa penelitian menemukan bahwa amygdala, bagian di samping hippocampus, yang bertanggung jawab untuk mendeteksi ancaman dan membentuk ingatan emosional, lebih aktif pada individu dengan SES rendah. Tunjukkan pada orang miskin—atau orang yang dulunya miskin—dan orang kaya; foto wajah-wajah yang mengancam, dan amygdala orang miskin akan lebih aktif untuk waktu yang lebih lama. 

Dengan kata lain, respons terhadap pemicu stres yang sama, orang-orang dengan SES rendah mungkin bisa lebih stres ketimbang orang-orang dengan SES tinggi. Hal ini masuk akal: Kalau kamu memiliki banyak ancaman di lingkunganmu, kamu jadi belajar untuk sangat waspada. Masalanya adalah, kamu jadi lebih sensitif terhadap stres. 

Konsekuensinya, siklus cemas berangsur-angsur dan fungsi otak yang teralihkan. Lebih akut lagi, beban berlebihan mental dan emosional dapat mengganggu kontrol diri, yang penting untuk keberhasilan akademis, profesional, dan kehidupan. 

Melalui lensa neurosains, amat dimengerti bahwa orang dewasa dengan SES lebih tinggi berhubungan dengan melawan impuls dan menunda kesenangan. Sebaliknya, sebuah penelitian menyimpulkan, bahwa orang miskin lebih mungkin dibandingkan yang lainnya untuk "berperilaku yang akan memperparah keadaan buruk mereka." 

Jadi begini artinya: Seseorang yang terlahir miskin telah memiliki nasib buruk karena miskin. Dia mungkin akan memiliki akses kesehatan terbatas, pendidikan tidak memadai, tempat-tempat tidak aman untuk bermain, pola makan tidak imbang, paparan terhadap polusi dan racun, dan orang tua yang tidak punya waktu untuk membacakan cerita sebelum tidur. 

Kalau-kalau hal ini tidak cukup buruk, tumbuh besar dalam kemiskinan kemudian mengubah beberapa bagian otaknya, yang mungkin akan menghambatnya lebih parah lagi dalam masyarakat modern.

"Suram, ya," ujar Farah, namun penelitiannya justru membuatnya optimis. Dengan meneliti dampak SES rendah pada perkembangan otak, dia dan orang-orang lain yang berharap bisa mengetahui lebih lanjut soal cara mencegah atau menangkal dampak SES rendah. 

Dan meskipun dia mengakui bahwa neurosains belum memproduksi bantuan konkret untuk orang miskin, cabang ilmu pengetahuan ini masih terbilang baru. Penelitian pertama soal kemiskinan dan otak diadakan hanya satu dekade lalu. Semakin banyak kita belajar, semakin baik kita bisa merancang kebijakan preventif demi memberantas kemiskinan dan melindungi otak anak-anak di masa mendatang.

Related

Science 1585635390985440528

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item