Mengapa Orang Kaya Menamai Gedung dengan Namanya? Ini Sejarah dan Fakta di Baliknya (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Orang Kaya Menamai Gedung dengan Namanya? Ini Sejarah dan Fakta di Baliknya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Tulus tapi problematis

Di balik donasi bombastis dan citra dermawan para donatur, praktik sumbang-menyumbang ini juga kerap memancing pertanyaan soal etika, ketulusan, sampai latar belakang donatur yang bisa jadi agak problematis. 

Masih melibatkan suami istri Sandy dan Joan Weill, mereka dikabarkan mendonasikan USD 20 juta untuk institusi swasta kecil di New York, Paul Smith’s College pada 2015. Namun, pengadilan memutuskan bahwa perubahan nama institusi sesuai permintaan donatur—menjadi Joan Weill-Paul Smith’s College—tidak bisa dilakukan. 

Sekolah ini didirikan oleh Phelps Smith untuk menghormati mendiang ayahnya, pengusaha hotel Paul Smith. Dalam surat wasiatnya, Phelps menegaskan bahwa institusi pendidikan tersebut harus dikenal selamanya sebagai Paul Smith’s College of Arts and Sciences. Akhirnya, pasangan Weill tidak jadi memberikan donasi. 

Pentingnya cap nama abadi di balik pemberian donasi ini juga ditemui di ranah non-pendidikan. Misalnya, gedung pertunjukan di New York, Lincoln Center for the Performing Arts, yang terkenal dengan salah satu ruangan konsernya, Avery Fisher Hall. 

Ruangan ini didirikan pada 1962 sebagai Philharmonic Hall, tempat dilangsungkannya pertunjukan orkestra New York Philharmonic dan acara musik lainnya. Sepuluh tahun kemudian, namanya diubah jadi Avery Fisher, sebagai tanda terima kasih pihak orkestra atas sumbangsih USD 10,5 juta dari pengusaha radio dan teknologi audio itu. 

Pada 2015, produser Hollywood David Geffen menawarkan donasi USD 100 juta untuk merenovasi Avery Fisher Hall. Namun, pemberian ini bukan tanpa syarat. Geffen ingin namanya terpampang di gedung. Setelah membayar sekitar USD 15 juta kepada ahli waris Fisher, nama ruangan pun resmi menjadi David Geffen Hall. Alih-alih donasi, aksi ini justru terkesan seperti transaksi jual-beli nama. 

Pengusaha Wall Street, Stephen A. Schwarzman, terkenal pula atas sumbangan USD 100 juta untuk New York Public Library pada 2007. Namanya terukir di 6 titik lokasi berbeda di gedung utama perpustakaan yang diresmikan sebagai Stephen A. Schwarzman Building. 

Schwarzman juga pernah berdonasi untuk almamaternya, Yale dan MIT. Kepada Yale, pada 2015 lalu, ia menyumbang USD 150 juta untuk merenovasi ruang makan bersama menjadi tempat aktivitas mahasiswa bernama Schwarzman Center. Proyek ini dikritik oleh sejumlah pihak dalam kampus karena bisa dialihkan untuk program-program lain yang lebih penting. 

Schwarzman juga disorot karena pengaruhnya dalam pemerintahan dan praktik bisnisnya. Kritik semakin mengudara pada 2019, tatkala Schwarzman mendonasikan USD 350 juta kepada MIT untuk mendirikan fakultas ilmu komputasi bernama MIT Stephen A. Schwarzman College of Computing. 

Lebih dari 100 orang menandatangani petisi agar nama Schwarzman dihapus dari fakultas. Dalam kolom opini di media kampus The Tech, sekelompok mahasiswa, staf dan alumni mempertanyakan “etika” MIT yang berkenan menerima donasi dari seorang Schwarzman. Pasalnya, jaringan sosial Schwarzman dipandang problematis. 

Sebagai seorang loyalis Donald Trump (waktu itu masih presiden), ia diketahui memberi sumbangan besar untuk kubu Republikan, di samping menjadi penasihat tidak resmi Trump terkait relasi dengan Beijing. Pada waktu yang sama, Schwarzman mati-matian berusaha menjegal lolosnya RUU Pemukiman Terjangkau di California. 

Schwarzman juga akrab dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, yang diduga berada di balik pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi dan kasus pelanggaran HAM lainnya. Schwarzman sempat menjamu sang pangeran, tak lama setelah perusahaannya, Blackstone, menerima investasi USD 20 juta dari pemerintah Saudi. 

Terlepas dari berbagai tanda tanya di balik praktik filantropi selama ini, institusi yang membutuhkan dana cenderung berpikiran pragmatis. Dengan menorehkan nama-nama orang besar, terkenal, dan berpengaruh pada bangunan atau bagian dari institusi mereka, terpercik harapan bahwa akan lebih banyak orang tertarik memberikan sumbangan. 

“Anda akan temui orang-orang di dunia amal yang berpendapat bahwa hak nama dapat membantu mereka mengumpulkan uang. Inilah sebabnya kenapa (merek-merek besar) bersedia menggandeng artis untuk mencapai kesepakatan endorse,” kata Ric Edelman, pemilik perusahaan finansial yang mengelola aset ratusan miliar dolar AS, ketika diwawancara. 

Di pihak pemberi atau donatur, motifnya bisa saja murni dilatarbelakangi oleh ketulusan, semata-mata tergerak oleh rasa prihatin atau welas asih. Akan tetapi, seperti sudah disaksikan di atas, donasi jadi susah dibedakan dari transaksi jual-beli karena sejumlah donatur menuntut hak nama atas bangunan fisik atau lembaga yang telah mereka biayai. 

Seperti Edelman ungkapkan, “Pada akhirnya, filantropi merupakan suatu bisnis yang besar.” Para donatur umumnya bergerak melalui yayasan swasta, yang biasanya membawa nama keluarganya. 

Dengan mendirikan yayasan, harta kekayaan keluarga bisa selamat dari tarikan pajak, di samping penting sebagai jalur legal bagi anggota keluarga untuk mengelola harta kekayaan bersama. 

Terlepas dari fungsi praktisnya, yayasan tak lain merupakan “suatu mekanisme untuk menciptakan status sosial dan pengakuan”, seperti disampaikan ahli ilmu politik Rob Reich dalam buku Just Giving: Why Philanthropy Is Failing Democracy and How It Can Do Better (2018). 

Akan tetapi, yayasan saja tidak cukup untuk mengukuhkan status sosial sang donatur. Reich tekankan, para donatur nantinya juga bisa meminta semacam “wujud keabadian” melalui hak nama, sebagai imbalan atas sumbangan yang sudah diberikan. 

Filantropi pada dasarnya merupakan praktik kekuasaan. “Khususnya pada donatur kaya raya atau yayasan swasta, [filantropi] bisa menjadi pengerahan kekuasaan yang plutokratis, menggunakan aset pribadi untuk tujuan publik, kerap dengan maksud untuk mengubah kebijakan publik,” tegas Reich. 

Maka dari itu, Reich menyarankan bahwa setiap bentuk filantropi perlu diawasi alih-alih disanjung, mengingat suatu donasi relatif sulit dipertanggungjawabkan, kurang transparan, dan cenderung disetir oleh kepentingan donatur.

Related

International 6374840556072022754

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item