Fakta-fakta di Balik Segitiga China, Amerika, dan Laut China Selatan (Bagian 1)


Naviri Magazine - Sebuah perusahaan China yang memiliki hubungan dengan jaringan militer dan intelijen Beijing sukses mengumpulkan database berukuran jumbo atas informasi pribadi jutaan orang--termasuk tokoh-tokoh penting--yang berasal dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, hingga Indonesia. 

Matthew Doran, dalam laporan investigasinya untuk Australian Broadcast Company (ABC), menyatakan database dimiliki perusahaan swasta bernama Zhenhua Data yang kantor pusatnya terletak di Shenzhen, salah satu pusat teknologi di China. 

Zhenhua didirikan oleh Wang Xuefeng, mantan pegawai IBM yang getol mengampanyekan "perang hibrid" (hybrid warfare) di media sosial China, WeChat. 

Perang hibrid adalah frasa yang digunakan untuk mendeskripsikan perpaduan perang konvensional dengan kelihaian politik, peperangan non-reguler, serta perang siber yang memanfaatkan metode militer konvensional, berita palsu, diplomasi, lawfare, dan intervensi pemilu di negeri asing. Dalam perang hibrid, data adalah senjata. 

Database yang dikumpulkan Zhenhua bocor, jatuh ke tangan Profesor Chris Balding, mantan akademisi Peking University yang kemudian hijrah menjadi pengajar di Fulbright University, Vietnam, karena alasan keamanan selepas melakukan studi mendalam tentang operasional Huawei. 

Balding menyerahkan database kepada konsorsium media internasional yang salah satu anggotanya adalah ABC. Merujuk laporan Doran, database yang bocor tersebut memuat informasi 2,4 juta orang. Saat ini baru sekitar 250.000 data pribadi yang sukses dibuka. 

Dari jumlah tersebut, termuat informasi pribadi milik 52.000 warga Amerika Serikat, 35.000 warga Australia, 10.000 warga India, 9.700 warga Inggris, 5.000 warga Kanada, 1.400 warga Malaysia, 138 warga Papua Nugini, dan 2.100 warga Indonesia. 

Data pribadi yang dikumpulkan Zhenhua memuat tanggal lahir, alamat, status pernikahan, asosiasi politik, keluarga, identitas media sosial, hingga foto diri. Zhenhua diduga mengumpulkan informasi dari sumber-sumber terbuka seperti akun Twitter, Facebook, LinkedIn, Instagram, hingga TikTok. 

Namun, karena data yang dikumpulkan juga memuat informasi yang lebih spesifik, Zhenhua juga diyakini memperoleh informasi dari perbankan, data lamaran pekerjaan di berbagai perusahaan, hingga data rekam medis dari rumah sakit. 

ABC menyebut database itu menyimpan data 35.000 warga Australia yang terdiri atas warga sipil, pejabat dan politisi, anggota militer, diplomat, akademisi, hingga jurnalis. 

Mengomentari tindakan Zhenhua, Profesor Balding menyebut bahwa “China terbukti sungguh-sungguh dalam mengawasi ancaman, baik dari dalam negeri maupun internasional”. 

Di sisi lain, Robert Potter, petinggi Internet 2.0--firma keamanan digital asal Australia--menyebut bahwa Zhenhua memiliki rekam jejak mampu melacak informasi seputar kapal angkatan laut, aset pertahanan, karier perwira militer, dan kekayaan intelektual para pesaing China. 

Pasifik: Medan Tempur Amerika Serikat vs China 

Selain Amerika Serikat dan Inggris, mayoritas informasi perorangan yang dikumpulkan berasal dari negara-negara yang berhubungan langsung dengan wilayah Pasifik, wilayah perairan terluas di Bumi yang menjangkau Indonesia, Papua Nugini, Australia hingga perairan lain di sekitarnya, seperti Laut Bering, Laut Coral, Laut Arafura. 

Tentu, satu lagi titik yang dijangkau Pasifik adalah Laut China Selatan, perairan yang sangat ingin dikuasai China. Laut China Selatan merupakan kawasan laut terbuka yang mempertemukan China, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia. 

Sementara itu, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) wilayah perairan ini menyeruak hingga wilayah kedaulatan Indonesia. Hampir setiap negara yang berhadapan langsung dengan Laut China Selatan mengklaim kepemilikan dengan dasarnya sendiri-sendiri. 

Februari 2019 silam, South China Morning Post melaporkan Vietnam mengklaim kepemilikan Pulau Paracel dan Pulau Spratly yang berada di kawasan ini. Filipina mengklaim kepemilikan Pulau Spratly dan kawasan Scarborough. Di lain sisi, Brunei dan Malaysia mengklaim kedaulatan atas bagian selatan Laut China Selatan dan beberapa pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Spratly. 

Baca lanjutannya: Fakta-fakta di Balik Segitiga China, Amerika, dan Laut China Selatan (Bagian 2)

Related

International 2474963289370580717

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item