Fakta-fakta di Balik Segitiga China, Amerika, dan Laut China Selatan (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Fakta-fakta di Balik Segitiga China, Amerika, dan Laut China Selatan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

China tak mau kalah. Melalui propaganda Nine-Dash Line, China mengklaim lebih dari 80 persen wilayah Laut China Selatan merupakan kedaulatannya, bahkan hingga ke kawasan Natuna milik Indonesia. Nine-Dash Line diperkenalkan Pemerintah China dalam peta resmi negaranya pada 1947. Kini China mengklaim kepemilikan Laut China Selatan melalui Baidu Maps, peta digital yang direstui Beijing untuk menggantikan Google Maps. 

Tentu saja klaim China adalah klaim belaka. Merujuk Hukum Laut PBB, klaim Nine-Dash Line tidak berdasar. 

Bukan tanpa alasan China ingin menguasai Laut China Selatan. Kawasan ini diketahui menyimpan sumber daya alam melimpah dan merupakan jalur pelayaran yang sangat ramai. Menurut laporan Badan Energi AS, kawasan Laut China Selatan menyimpan 11 juta barel minyak mentah dan 190 triliun kaki kubik gas alam. 

Council on Foreign Relations melaporkan total nilai perdagangan yang melalui Laut China Selatan mencapai sekitar USD3,37 triliun, atau sekitar 40 persen nilai perdagangan dunia. Laut China Selatan merupakan wilayah pelayaran dunia yang menghubungkan negara-negara di Pasifik dengan pasar internasional. 

Center for Strategic and International Studies melaporkan Laut China dilintasi sekitar sepertiga dari pelayaran global. Wilayah ini sangat penting untuk China, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan, yang semuanya bergantung pada Selat Malaka, yang menghubungkan Laut China Selatan dengan Samudra Pasifik dan Samudera Hindia. 

Konon, Laut China Selatan merupakan lokasi transit aset senilai USD5,3 triliun setiap tahunnya. 

Meskipun memiliki duit dan kekuatan militer, China tidak dapat seenaknya mengklaim Laut China Selatan. Ada kekuatan lain yang cukup memiliki kuasa di kawasan ini, yakni Amerika Serikat. Terdekat dari Laut China Selatan, Amerika Serikat memiliki pangkalan militer di Camp Humphreys di Korea Selatan dan Torii Station Army Base di Jepang. 

Dari Camp Humphreys, Amerika Serikat hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk sampai ke Laut China Selatan dengan menggunakan F-22 Raptor. Dari Torii Station Army Base, jaraknya bahkan tak sampai 30 menit. 

Sedikit cukup jauh dari Laut China Selatan, Amerika Serikat bahkan memiliki pangkalan militer yang benar-benar berada di teritorinya sendiri, yakni di Guam, sebuah pulau di Pasifik yang hanya berjarak sekitar 2.000 kilometer dari Pulau Morotai di Indonesia. 

Ya, secara geografis, jarak Indonesia dan Amerika Serikat jauh lebih dekat dibandingkan dengan jarak Jakarta ke Kupang. Dan tentu, siapapun yang lahir di Guam memiliki hak natural untuk memperoleh paspor Amerika Serikat, salah satu paspor terkuat di dunia. 

Secara umum negara-negara yang ada di sekitaran Pasifik memiliki hubungan yang relatif baik dengan Amerika Serikat. Apalagi, selepas pandemi Corona menghantam dunia, sentimen masyarakat di banyak negara, termasuk di sekitar Pasifik, bernada negatif terhadap China. 

Salah satu negara di Pasifik memiliki hubungan yang sangat istimewa dengan Amerika Serikat, yakni Australia. Ryan Gallagher, dalam laporan investigasinya untuk The Intercept, menyatakan Amerika Serikat memiliki pangkalan khusus di Australia utara berkat kerjasama kedua negara yang disebut sebagai Joint Defence Facility Pine Gap (nama sandi: “RAINFALL”). 

Pine Gap merupakan pangkalan intelijen yang menurut dokumen rahasia Amerika Serikat diciptakan untuk “mendukung keamanan nasional Amerika Serikat dan Australia. Berkontribusi untuk memverifikasi kontrol senjata dan perjanjian pelucutan senjata serta memantau perkembangan militer”. 

“Pangkalan ini adalah stasiun darat penting tempat satelit mata-mata Amerika Serikat dikendalikan dan komunikasi dipantau di beberapa benua,” tulis Gallagher. 

Tercatat, Pine Gap setidaknya telah melakukan dua misi, masing-masing bersandi M7600 dan M8300. M7600 merupakan misi spionase mengumpulkan informasi di Eurasia dan Afrika via drone. Adapun M8300 adalah misi serupa untuk menjangkau kawasan bekas Uni Soviet, China, Asia Selatan, Asia Timur, Timur Tengah, Eropa Barat, hingga wilayah Atlantik. 

Perang hybrid adalah salah satu skenario yang mungkin terjadi. Mungkin karena itulah data yang dikumpulkan Zhenhua menjadi penting untuk dimiliki Beijing. 

Related

International 4305743675637553689

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item