Ini Fakta-fakta Penting Seputar Waktu Berjemur Terbaik dan Durasi yang Tepat, Menurut Dokter


Naviri Magazine - Berjemur di bawah sinar matahari pagi dipercaya dapat membantu meningkatkan imunitas untuk mencegah paparan virus Corona di tengah pandemi. Lantas, sebaiknya kapan waktu berjemur yang baik untuk COVID-19?

Banyak perdebatan soal kapan waktu berjemur yang baik, apakah di atas jam 10 atau di bawah jam 10. Menurut dokter spesialis kulit dan staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNPAD/RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, dr R.M. Rendy Ariezal Effendi, SpDV, sebenarnya tujuan utama seseorang berjemur adalah untuk mendapatkan vitamin D yang baik untuk daya tahan tubuh.

"Kalau tujuannya untuk mendapatkan vitamin D, anjuran berjemur di atas jam 10 bisa saja dilakukan. Tapi dari sisi kesehatan kulit, ada risikonya," kata dr Rendy kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Sementara itu, berjemur di atas jam 10, di satu sisi dipercaya memberikan paparan ultraviolet B (UVB) maksimal. Sebab, paparan UVB yang dibutuhkan oleh tubuh untuk meningkatkan kadar vitamin D dalam tubuh. Mesk begitu, UV Index (UVI) umumnya sudah tinggi pada jam tersebut.

"Risikonya antara lain bisa flek atau tanning kalau tanpa pelindung seperti sunblock," jelas dr Rendy.

"Selain itu, paparan sinar UVB yang terus menerus dan berlebihan tanpa proteksi dapat meningkatkan risiko kanker kulit di kemudian hari," tambahnya.

UV Index lebih menentukan

Menurut dr Rendy, tidak ada guideline yang secara spesifik menentukan waktu terbaik untuk berjemur. Banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya cuaca dan letak geografis.

Waktu berjemur yang baik untuk COVID-19 misalnya, di jam 10 pagi setiap daerah tentu memiliki intensitas sinar matahari yang berbeda. Maka dari itu, menurutnya UV Index disebut lebih relevan mempertimbangkan kapan waktu berjemur terbaik.

Sementara menurut Dokter spesialis kulit dan kelamn RSUD dr. Moewardi itu menerangkan, sinar matahari yang mencapai bumi berfluktuasi secara dramatis, tidak hanya dalam hal intensitas keseluruhan tetapi juga dalam komposisi spektralnya berdasarkan waktu, ketinggian, dan garis lintang.

Hal ini yang harus dipahami masyarakat Indonesia, bahwa siapa saja tidak boleh berjemur secara sembarangan karena sinar matahari juga berisiko dapat merugikan kesehatan. 

Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu menjelaskan, tingkat radiasi UV secara bertahap menurun dengan meningkatnya garis lintang.

Daerah di khatulistiwa memiliki tingkat radiasi UV yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Tingkat radiasi UV naik dengan meningkatnya ketinggian karena pengurangan jumlah aerosol, molekul udara, dan ozon di atmosfer. 

Sementara, radiasi UV di permukaan bumi berubah dengan musim, waktu, dan hari dalam setahun, UVR berubah karena perubahan sudut zenit matahari (solar zenith angle).

Ozon diproduksi di lapisan stratosfer (pada ketinggian di atas 20 km) sebagai hasil dari reaksi fotokimia di atmosfer. 

Sinar UV memecah O2 untuk menghasilkan atom oksigen bebas. Atom oksigen ini kemudian bereaksi dengan O2 dan molekul mediator untuk menghasilkan O3 (ozon). 

Ozon akan menyerap seluruh sinar UV-C yang membahayakan kesehatan manusia. Seperti diketahui, sinar matahari memiliki 3 spektrum sinar ultra violet, yaitu UV-A, UV-B dan UV-C.

Seperti diketahui, sinar matahari memiliki 3 spektrum sinar ultra violet, yaitu UV-A, UV-B dan UV-C. “Faktor lain yang berpengaruh adalah tipe kulit seseorang dan Indeks UV (UV Index),” jelas dr. Pras. 

Di sisi lain, sinar surya berlebihan menyebabkan: 

Photoaging atau proses penuaan yang diakibatkan oleh sinar ultraviolet dari matahar 
Imunosupresi atau penurunan daya tahan tubuh.

Fotokarsinogenesis atau pembentukan keganasan yang dipicu akibat proses kompleks dari pajanan sinar surya terutama sinar UV.

dr. Pras menambahkan, letak geografis Indonesia terbentang pada 6° lintang utara dan 11° lintang selatan. Sementara, matahari beredar di 0° khatulistiwa. 

Dengan demikian, paparan matahari tegak lurus di atas bumi. Menurut dia, hampir setiap hari rata-rata UVI di berbagai kota di Indonesia pada pukul 10.00-14.00 sudah mencapai angka 8 hingga lebih dari 11, dan bahkan bisa sangat ekstrem di angka 14. 

“Padahal UVI ideal yang dibutuhkan untuk membentuk vitamin D adalah hanya 3,5 – 6,” jelas dia.

dr. Pras menegaskan, semakin tinggi derajat UVI berarti semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk berjemur. Begitu juga, semakin luas area tubuh yang terpapar, maka sebenarnya semakin singkat waktu berjemur yang diperlukan untuk memperoleh kadar vitamin D yang dibutuhkan.

Berjemurlah hanya pada sekitar pukul 09.00 pagi. Sebaiknya, berjemur 5 menit dahulu, kemudian naikkan secara bertahap maksimum 15 menit. Berjemur pada pukul 10.00-14.00 berisiko membuat kulit terbakar surya serta penurunan imunitas. 

Rata-rata kota di Indonesia mempunyai puncak indeks UV pada rentang waktu tersebut. 

Sebelumnya Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari kembali menyinggung soal merebaknya kasus COVID-19 di Tanah Air. Kali ini ia membahas tentang penyebab banyaknya pasien yang meninggal akibat ganasnya virus tersebut.

Menurut Siti Fadilah, sebagian besar warga Indonesia kekuragan vitamin D3 dalam darahnya. Fenomena ini cukup dikenal akrab di dunia kedokteran.

Kata Siti Fadilah, umumnya nilai normal vitamin D dalam darah manusia berkisar 30-100 ng/mL. Tetapi kebanyakan orang Indonesia, di bawahnya. Bahkan tak sedikit yang berada di bawah 20.

Jika sudah demikian, akan sangat berbahaya untuk imunitas, termasuk akan mudah mengalami perburukan kalau terkena COVID.

Hal itu pula yang menjadi alasan mengapa pasien covid bisa meninggal, salah satunya karena kandungan D3 dalam darah rendah.

“Vitamin D3 itu penting dan tak boleh kurang dalam darah, kalau kurang kita akan gampang kena. Kalau saya menganjurkan kandungannya 40, normalnya kan angkanya 30-100. Sebab kalau kurang dari 20, kalau kena covid biasanya meninggal,” katanya.

“Kalau lebih dari 20 dia akan tetap hidup, dan lebih dari 30 dia akan OTG. Maka lebih baik lebih dari 40 aman,” timpalnya lagi.

Vitamin D3 sendiri sebenarnya terbentuk secara alami ketika kulit terkena sinar matahari langsung. Selain itu, vitamin D3 juga dapat dijumpai pada makanan yang berasal dari hewan, seperti ikan laut, seperti salmon, tuna, dan tongkol.

Kemudian ada pula dari kandungan minyak ikan dan minyak hati ikan kod, telur, susu dan olahannya seperti keju dan yoghurt, hati sapi, sereal atau jus buah yang diperkaya vitamin D3.

Related

Health 611520315661675157

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item