Kisah Orang-orang yang Terjerat Pinjaman Online dan Fakta-fakta di Baliknya (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Orang-orang yang Terjerat Pinjaman Online dan Fakta-fakta di Baliknya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Hari-hari Sunaryo, waktu itu, diiringi parade ketakutan. Posisinya terjepit, menanggung malu, dan menjadi bahan obrolan lingkungan sekitarnya. Dia hanya bisa merespons, “saya bayar secepatnya.” 

Kehidupannya tak sama lagi setelah itu: ia kehilangan pekerjaan dan lingkungan sekitar memandangnya penuh curiga. Beruntung, dukungan dari keluarganya tetap utuh menguatkannya. “Rasanya seperti dipukul berkali-kali,” ungkap lelaki 39 tahun itu. “Kalau bisa, jangan pernah pinjam online! Bahaya buat hidup.” 

Tak Galak Malah Rugi 

Jalanan Ciledug Raya yang biasanya padat kendaraan, siang itu, terlihat cukup lengang. Di antara kelandaian itu, Dedi tengah duduk bersantai di warung kopi yang letaknya di samping sebuah minimarket. Sosok Dedi, sepintas, cocok dengan penggambaran debt collector atau penagih utang yang terekam dalam realitas masyarakat.

Dia mengenakan jaket kulit berwarna hitam, kemeja yang kancing bagian atas sengaja dibuka, celana jin yang sudah lusuh, sepatu kulit yang nampaknya rajin disemir. Serta tak ketinggalan, lengan penuh tato—dari motif tribal hingga muka singa. 

Ini tahun ke-2 Dedi menjadi penagih utang. Sebelumnya ia bekerja sebagai petugas keamanan di salah satu perusahaan swasta, kantornya di bilangan Glodok, Jakarta Barat. Pandemi, ternyata, mengubah peruntungannya. Neraca keuangan kantor tempat ia mencari nafkah terpukul akibat berbagai kebijakan penanggulangan coronavirus disease 2019 (COVID-19). 

Salah satu cara strategi penyelamatan ialah memangkas jumlah pegawai. Ada puluhan pegawai yang diputus kontrak kerjanya, termasuk Dedi. Situasi itu bikin Dedi terpukul. Ditambah pesangon yang ia peroleh juga tak seberapa. Dia sempat depresi, emosinya pun tak stabil. Dia melampiaskan dengan menenggak alkohol sebanyak mungkin. 

“Yah, namanya orang kecil, ya, Bang. Kalau lagi buntung, larinya ke alkohol. Pokoknya biar lupa sama dunia, dah,” ujarnya dengan logat Betawi yang cukup kental. 

Alkohol rupanya tak mengubah apa pun. Dunia masih limbung berkat pandemi. Begitu juga nasib hidup Dedi yang terkatung-katung tanpa kejelasan. Dua bulan setelah dipecat, Dedi tak punya pemasukan sama sekali. Uang pesangon makin menipis, sementara tuntutan hidup maupun tunggakan ini dan itu, terus bertambah. 

Niat menjual sepeda motor sempat terlintas di pikirannya. Dia sudah mendapatkan calon pembeli beserta harga yang disetujui. Kira-kira cukup untuk bertahan sebulan ke depan, demikian pikirnya. Tak dinyana, karibnya menghubungi, menawarkannya pekerjaan yang dirasa sangat cocok untuknya. 

“Jadi debt collector buat satu perusahaan pinjaman,” ia memberi tahu. Tanpa pikir panjang, Dedi menyambut tawaran itu. Seminggu kemudian, Dedi sudah resmi bekerja sebagai penagih utang. Gajinya tak jauh berbeda dari pekerjaan lamanya. 

Tak ada instruksi spesifik perihal pekerjaan yang ia jalani. Pesan dari tempat ia bekerja hanya satu dan itu cukup jelas: tertibkan pembayaran pinjaman, jangan sampai mereka kabur bawa uang kita. 

Pekerjaan Dedi dimulai ketika ada debitur yang terlambat mengembalikan pinjamannya. Pihak perusahaan membekali: data pribadi sampai berapa jumlah tunggakan debitur. 

“Nah, ini contohnya, Bang. Ada nama peminjam, utangnya berapa, nomornya berapa, rumahnya di mana, keluarganya siapa aja, pokoknya lengkap. Tinggal datang saja,” katanya sembari menunjukkan buku catatan berisikan daftar yang mesti dibereskan. 

Awal bekerja, cara Dedi tergolong lunak. Tak sekalipun ia memarahi peminjam atau bahkan memakinya. Dialog yang tak jarang muncul: Dedi meminta uang harus kembali tanggal sekian dan peminjam mengiyakan. 

“Masalahnya, setelah digituin, mereka juga enggak segera bayar. Alasannya inilah. Atau lagi itulah. Jadinya saya juga repot, enggak bisa bawa apa-apa ketika pulang kerja,” ia menjelaskan. 

Oleh kolega lainnya, cara kerja Dedi dipertanyakan. Keberadaan penagih utang, pada dasarnya, membuat peminjam takut sehingga segera melunasi. “Jika lembek, ya ngapain jadi debt collector?” Dedi menirukan ungkapan koleganya itu. 

Maka, setelahnya, Dedi berubah lebih gahar. Dia tak segan menghujani debitur dengan umpatan. Taktiknya membuahkan hasil. Nyaris semua peminjam yang ia pegang merasa takut, dan kemudian membayar pinjaman—beserta bunga yang gila-gilaan—sesuai batas waktu yang ditentukan. 

“Meski begitu, bagi saya, pantang pakai fisik dan ngancem keluarganya. Urusan duit, ya, sama yang pinjam saja. Kejar sampai dapat. Enggak perlu melibatkan orang lain yang sebetulnya enggak ada urusan sama duit itu,” jelasnya panjang lebar. 

Dedi boleh mengklaim demikian, namun fakta di lapangan tak serta merta menghilangkan borok kerja-kerja para penagih utang. Awal 2019 silam tersiar kabar, seorang sopir taksi bunuh diri. Korban ditemukan tak bernyawa di kamar kosnya di Jakarta Selatan, meninggalkan surat wasiat kurang lebih berbunyi: Wahai para rentenir online, kita bertemu nanti di alam sana. 

Temuan Lembaga Hukum Jakarta (LBH) Jakarta menyebutkan, bunuh diri sopir taksi tersebut disebabkan oleh tekanan dari penagih utang. Korban diketahui terjerat utang yang banyak, dari yang semula hanya setengah juta. 

Baca lanjutannya: Kisah Orang-orang yang Terjerat Pinjaman Online dan Fakta-fakta di Baliknya (Bagian 3)

Related

News 5467826779311484716

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item