Kisah Tragis Sara Baartman dan Sejarah Gelap Eropa yang Tak Terlupakan (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Tragis Sara Baartman dan Sejarah Gelap Eropa yang Tak Terlupakan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Yvette Abrahams, ahli sejarah dan profesor studi gender dan perempuan dari University of the Western Cape menyatakan, pada saat itu orang Khoikhoi yang dibawa ke Eropa tidak punya agensi untuk menentukan nasibnya. 

Untuk kasus Sara, klaim-klaim Dunlop dan Cesars bahwa Sara datang dengan sukarela makin tidak masuk akal, karena saat itu Sara belum menginjak usia dewasa. Tidak mungkin ia bisa bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya.     

Sejalan dengan pemikiran Abrahams, sejarawan lain yang berfokus pada isu Black British, Steve Martin, mengungkapkan bahwa Sara tidak punya pilihan. Bila memutuskan pulang ke Afrika, ia akan kembali menjadi budak atau mati di tengah jalan. 

Pasalnya, ketahanan tubuh orang-orang pada masa itu belum seperti orang zaman sekarang, bisa saja ia mati terserang penyakit ketika menempuh perjalanan dengan kapal selama berbulan-bulan.   

Setelah ke London, Sara sempat dibawa ke kota lain di Inggris, Bath, dan Limerick, Irlandia, demikian dicatat oleh Dr. Natasha Gordon-Chipembere, editor buku Representation and Black Womanhood: The Legacy of Sarah Baartman (2011). 

Setelah pengadilan memutuskan freakshow Sara ilegal di Inggris karena mempertontonkan hal yang tak pantas, Cesars membawanya ke Perancis pada tahun 1814.

Di sana, ia dijual ke seorang pelatih hewan dan kembali dipertontonkan di Palais Royal, setiap hari sejak pukul 11 siang sampai 10 malam. Tidak hanya itu, Sara juga dijadikan surprise guest oleh elit-elit Perancis dalam pesta-pesta privat mereka.

Setahun berselang, Sara dikabarkan meninggal. Ada yang mengatakan ia mati karena penyakit yang diakibatkan kebiasannya minum-minum, ada pula yang mengabarkan ia mati karena perilaku seksualnya yang memicu sifilis. 

Menurut Gordon-Chipembere, pendapat-pendapat ini adalah bentuk viktimisasi Sara yang tidak pernah memilih sukarela untuk menjadi budak atau penampil freakshow. 

Narasi-narasi yang ada saat itu begitu bias Barat, sehingga kemalangan apa pun yang menimpa perempuan Khoikhoi ini dianggap sebagai kesalahannya sendiri.

Eksploitasi yang Tak Berhenti

Setelah Sara meninggal, eksploitasi terhadap dirinya tak juga berhenti. Eksploitasi ekonomi dan tubuh selama bertahun-tahun yang dialaminya seolah tak cukup. Pada tahun 1817, naturalis dan ahli zoologi Perancis, Georges Cuvier membedah jenazah Sara untuk diteliti. 

Jika tindakan Cuvier masih punya pembenaran dari sisi ilmu pengetahuan, ada episode yang sulit dijustifikasi: otak, tengkorak, serta alat kelaminnya dipertontonkan di Museum of Man di Paris sampai 1974. Dua puluh tahun kemudian, presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, meminta jenazah Sara dipulangkan ke kampung halamannya, dan hal tersebut baru dilakukan pemerintah Perancis pada 2002.

Sejumlah kajian sosial tentang Sara telah dipublikasikan untuk membeberkan imbas kolonialisasi terhadap orang Afrika. Kendati demikian, perilaku tidak sensitif ketika mengangkat wacana Sara masih saja ditemukan. 

Kim Kardashian pernah berpose untuk majalah Paper pada 2014 dengan menonjolkan bagian bokongnya. Oleh sebagian orang, bokong Kim disamakan dengan bokong Sara. 

The New York Times malah sempat menyebut bahwa Sara adalah Kim Kardashian pada masanya. Hal ini mengundang kemarahan sebagian khalayak karena dianggap tidak pantas dan cenderung abai terhadap isu kemanusiaan yang terkait kehidupan Sara.

Kontras dengan kehidupan Sara, Kim Kardashian lebih memiliki agensi untuk memilih seperti apa dia menampilkan tubuhnya, kepada siapa, serta keuntungan apa yang bisa ia dapatkan dengan melakukan hal tersebut. 

Kendati berdarah campuran, Kim tidak mengalami perbudakan sebagaimana yang Sara alami. Wacana pembebasan seksual masih belum tersentuh pada era Sara, berbeda dengan konteks Kim berpose di majalah Paper. 

Kehidupan orang-orang seperti Sara memang berlangsung pada lebih dari dua abad silam. Namun, isu kemanusiaan, perdagangan manusia, dan eksploitasi tubuh tetap menjadi bagian dari masalah-masalah sosial budaya yang ada pada saat ini. 

Apakah penampil, baik itu dalam freakshow maupun jenis pertunjukan lain dalam medium-medium berbeda, benar-benar berkehendak bebas ketika unjuk diri di hadapan publik, atau ada serangkai tekanan yang mendorongnya memilih tindakan tertentu, baik disadari maupun tidak? 

Related

International 5016762282325188989

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item