Kontroversi di Balik Para Putri di Film Disney, dari Putri Salju sampai Putri Moana (Bagian 1)


Naviri Magazine - Disney kerap memunculkan film-film yang menokohkan seorang wanita, yang biasa disebut Putri. Kita tentu sudah mengenal sosok Putri Tidur, Cinderella, Putri Salju, dan lain-lain. Itu segelintir sosok putri yang pernah dihadirkan Disney ke dunia, dan menyihir banyak orang, khususnya wanita. 

Tak bisa dipungkiri, kisah-kisah Disney memiliki pengaruh bagi banyak wanita di dunia, khususnya tentang potret ideal menjadi wanita.

Cinderella, misalnya, menjadikan banyak wanita di dunia mengimpikan kedatangan seorang pangeran tampan yang akan mengajaknya ke istana indah, lalu mereka hidup bahagia selama-lamanya. 

Selain itu, sosok putri dalam film-film Disney juga seperti mendoktrin para wanita tentang bagaimana bentuk tubuh yang ideal. Para putri dalam film Disney umumnya langsing, kurus, dengan tungkai panjang. Gambaran itu pun lalu populer dan mengendap di banyak benak wanita.

Latar belakang itulah yang menjadikan sosok putri dalam film-film Disney kerap menuai komentar dan kontroversi dari berbagai pihak. Putri Disney yang baru adalah Moana, sosok Putri Polinesia pertama. Moana juga tampil dalam porsi tubuh 'normal', berbeda dengan tubuh putri-putri Disney sebelumnya: lingkar perut superkecil dan tungkai superpanjang. 

Rebbeca Hains, penulis buku The Princess Problem: Guiding Our Girls through the Princess-Obsessed Years, mengapresiasi tampilan fisik Moana yang dinilai lebih realistis sebagai sebuah kemajuan Disney. 

Kepada BBC, Rebbeca menyebut tampilan Moana sebagai buah dari kritik yang selama ini mampir di telinga para petinggi Disney tentang proporsi tubuh para putri yang jauh dari tampilan perempuan pada umumnya di dunia.

Apakah ini berarti Moana berhasil memuaskan penonton? Bagi kaum feminis dan liberal Amerika Serikat, itu sangat mungkin. Kedua kubu yang sejak Disney mempopulerkan tokoh putri di era 1930-an memang rajin menyampaikan kritik agar sosok Putri Disney tak dibungkus dengan klise sebuah fisik perempuan ala model profesional atau narasi cerita yang menunjukkan lemahnya kaum hawa. 

Namun, kali ini suara tajam datang dari kubu seberang. Debby Schlussel, penulis dan pemandu acara dari kubu konservatif AS menganggap tubuh Moana—yang lebih berisi ketimbang putri-putri Disney sebelumnya—sebagai contoh kebablasannya kritik atas standar kecantikan.

Menurutnya, Moana bisa membuat anak-anak perempuan berpikir bahwa tubuh yang fit itu tak perlu. Debby khawatir anak-anak perempuan itu kelak akan bergaya hidup tak sehat. Tokoh mitologi pendamping Moana yakni manusia setengah dewa yang berasal dari kawasan Pasifik Selatan, Maui, juga dikritik. 

Penampilannya jauh lebih gemuk dibanding Moana. Maui dinilai terlalu gemuk dan dikhawatirkan memberikan pandangan yang menyimpang tentang orang-orang Polinesia.

Feminisme dan Anti-rasisme

Tampaknya, Disney memang tak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Karakter khas para Putri Disney memang awalnya konservatif, tapi mereka juga bertindak sebagai perwakilan atas sikap dan kegelisahan budaya di masanya. Pada era 1930-an atau era dimana Walt Disney meluncurkan sosok Putri Salju, ia mewakili perempuan ideal di zamannya: sopan dan pasif. 

Bersama dua putri setelahnya, Cinderella dan Putri Tidur, Putri Salju dipandang sebagai putri Disney paling feminin karena tingkat ketergantungan yang tinggi pada sosok pangeran tampan.

Setelah Putri Tidur pada 1959, tak ada putri Disney baru yang muncul dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Di periode itulah kaum feminis menancapkan kukunya. Wacana kesetaraan gender sedang tumbuh subur-suburnya di banyak tempat, termasuk di AS. Ide yang menantang dunia patriarki ini kemudian berpengaruh sangat besar terhadap putri-putri baru yang dimunculkan Disney. 

Sebagai contoh, Putri Ariel di Little Mermaid (1989) menunjukkan sikap mandiri dan independen, meski kadarnya belum banyak. Motivasi utama dari perjuangannya sepanjang film, hingga berani menjauhi keluarganya dan berubah menjadi manusia seutuhnya, tetap dalam rangka meraih hati sang lelaki pujaan. 

Putri Disney selanjutnya, Belle, pada Si Cantik dan Si Buruk Rupa (1991) juga menunjukkan sikap berani untuk menantang pandangan umum yang berlaku di masyarakat tempat tinggalnya. 

Ia memberi kesempatan pada Sang Monster Buruk Rupa untuk menunjukkan identitas diri yang sebenarnya sembari pelan-pelan membuka pintu hati. Meski demikian, di akhir cerita ia tak memiliki identitas sendiri yang kokoh, sebab akhirnya memandang dunia lewat kacamata si Monster.

Tapi kritik dan kontroversi bukan hanya soal perspektif gender saja. Ada banyak sisipan berbau rasisme dan stereotipe negatif kepada kaum kulit non-putih di dalam film-film animasi Disney era awal hingga era 1990-an. Lihat saja, semua putri pada periode itu berkulit putih.

Baca lanjutannya: Kontroversi di Balik Para Putri di Film Disney, dari Putri Salju sampai Putri Moana (Bagian 2)

Related

Entertaintment 339993812797779677

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item