Upaya Memerangi Kabar Bohong di Dunia: Hoax Ternyata Telah Ada Sejak Tahun 1938


Naviri Magazine - Hoax dan kabar bohong muncul karena berbagai sebab dan latar belakang. Setidaknya, secara garis besar, kita bisa membedakan hoax dalam dua hal.

Pertama, hoax yang timbul karena kesengajaan, dalam arti suatu hoax dibuat dan disebarkan dengan suatu tujuan. Misalnya untuk menciptakan kekacauan di tengah masyarakat. Hoax semacam itu umumnya terkait masalah politik. 

Kubu dari tokoh tertentu sengaja membuat dan menyebarkan hoax, misalnya, untuk menyerang kubu lawan. Dalam taraf yang ringan, hoax semacam ini kadang pula dibuat untuk sekadar hiburan atau bersenang-senang.

Kedua, hoax yang muncul karena ketidaksengajaan. Hoax jenis ini sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai hoax, namun disalahpahami oleh masyarakat. Jadi, meski informasi yang muncul sebenarnya bukan hoax, tapi masyarakat keliru dalam memahaminya. Contoh berikut ini bisa menjadi ilustrasi yang bagus.

Minggu, 30 Oktober 1938, sehari sebelum perayaan Halloween, warga Amerika Serikat panik tak karuan. Ketika itu, kebaktian di gereja dihentikan, jalanan macet, dan sistem komunikasi pun mandek. Ketakutan massal tersebut terjadi karena sebuah acara stasiun radio menyiarkan "berita singkat" bahwa telah terjadi invasi alien dari Mars di New Jersey.

Siaran tersebut ternyata merupakan bagian dari drama suara yang menceritakan karya H.G. Wells, yang berjudul “War of the Worlds”. 

"Siaran Panik", sebutan untuk peristiwa itu, kemudian digunakan oleh akademisi ilmu komunikasi sebagai studi kasus yang membuktikan kekuatan media dalam mempengaruhi khalayak, terlepas dari apakah berita itu "benar" atau "fiksi". 

Jauh setelah “Siaran Panik”, berita hoax justru semakin jadi masalah. Berita-berita palsu nyaris sama meyakinkannya dengan berita yang benar. Berita hoax menjadi bisnis, senjata politik, dan/atau strategi menyebarkan sentimen kebencian. Menghadapi ini, pemerintah, media, maupun masyarakat, memang tidak tinggal diam. Berbagai solusi dieksekusi: mulai dari pemblokiran situs hoax, verifikasi fakta oleh media, dan pendidikan literasi media.

Dari beberapa solusi tersebut, pendidikan literasi media merupakan hal yang cukup penting. Pendidikan memungkinkan masyarakat untuk bisa mandiri menyaring berita yang hoax atau tidak. Pendidikan ini penting untuk diberikan kepada semua golongan, termasuk anak-anak. Seperti yang dilakukan oleh BBC dengan mengirimkan wartawannya ke sekolah-sekolah.

Pada Maret 2018, BBC Inggris akan mengutus wartawannya ke lebih dari 1.000 Sekolah Menengah Pertama. Mereka akan menjadi mentor yang mengajarkan kemampuan verifikasi informasi kepada para siswa. 

“Dengan membagikan keahlian jurnalistik, kami ingin memberi anak muda kemampuan dan kesadaran, bahwa mereka harus percaya diri dalam mengidentifikasi berita yang benar, dan menandai yang hoax,” kata Tony Hall, Direktur Umum BBC. 

Program ini diluncurkan setelah penelitian oleh Universitas Salford dan BBC Newsround menemukan murid SMP di Inggris belum memiliki kemampuan literasi media yang baik dalam mengidentifikasi berita hoax. Menurut penelitian ini, kesadaran mereka hanya terbatas pada mengetahui berita hoax yang berisi cerita benar-benar konyol atau di luar akal sehat. 

Akan tetapi, para siswa tersebut ditemukan masih belum terbiasa dalam mengidentifikasi berita hoax yang lebih abu-abu; berisi informasi yang salah dan mengecoh. Selain itu, para siswa masih belum dapat membedakan artikel opini atau advetorial dengan artikel berita. 

Temuan ini senada dengan survei oleh Stanford University, yang menemukan 80 persen siswa SMP (dari total sampel 203 siswa) juga mengira berita yang disponsori di situs berita Slate merupakan artikel berita.  

Bukan hanya di Inggris, strategi menghadapi berita hoax yang melibatkan anak sekolah juga dilakukan oleh Mighty Writers, sebuah organisasi nirlaba di Amerika Serikat. Melalui program Fake News Finders, wartawan dari organisasi ini akan berdiskusi secara langsung dengan anak berumur 7 sampai 17 tahun, untuk menganalisa berbagai artikel dari media berbeda. 

Paige Williams, dalam tulisannya untuk The New Yorker, menceritakan salah satu bentuk latihan yang dilakukan adalah membandingkan berita dari situs yang mencurigakan, seperti Infowars (situs berita yang didominasi teori konspirasi yang belum terbukti) dengan berita dari media yang memiliki kredibilitas jurnalisme yang baik. 

Joanne Orlando, seorang peneliti dari Sydney Western University, dalam artikelnya di The Conversation, menjelaskan anak-anak harus diajak berdiskusi agar dapat sensitif dalam mengidentifikasi kualitas berita. Menurutnya, orang tua dapat memulai diskusi dengan cara menanyakan: pembuat berita, target khalayak berita, informasi yang hilang, dan perbandingan dengan situs berita lain.

Related

International 5225109979717298925

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item