Menguak Rumitnya Hubungan Musisi Lokal dengan Spotify (Bagian 1)


Naviri Magazine - Lebih dari satu dekade berkecimpung di skena musik lokal ternyata bikin Gisella Swaragita sadar: aktivitas ini tak dapat dijadikan pegangan untuk membangun masa depan. Alasannya beragam, tapi setidaknya dapat dibungkus ke dalam satu kesimpulan: ekosistem musik lokal belum cukup terbangun—juga ramah—kepada para musisinya. 

Ini termasuk ketika bicara soal perkembangan teknologi seiring berjalannya waktu. Layanan streaming, ambil contoh, kerap digadang-gadang menjadi jawaban atas segala sengkarut permasalahan yang melanda musisi. Sayang, sampai sejauh ini, alih-alih memberi jalan keluar, keberadaan layanan streaming justru menempatkan musisi pada situasi terjepit. 

Gisella sudah aktif sejak 2007 silam, berkarya di banyak band seperti The Frankenstone, Summer in Vienna, dan Seahoarse. Di luar itu, ia turut pula dalam beberapa side project, salah satunya menjadi penyanyi latar ketika Melancholic Bitch menyelenggarakan acara peluncuran album NKKBS Bagian Pertama (2017). 

Ia juga karib dengan layanan macam Spotify. Karya yang ia buat bersama Seahoarse, Magical Objects, sudah nangkring di kanal Spotify dari 2017 silam. Namun, ia memberi pengakuan, fee hasil stream yang diperoleh “masih sangat jauh dari kata maksimal.” 

“Aku punya kredit namaku di tiga band berbeda sejak 2007. Bandku yang masuk Spotify baru Seahoarse. Aku lupa dapat berapa pastinya, tapi yang jelas kecil banget,” katanya. 

Yang bikin miris lagi, Gisella menambahkan, di balik pembagian upah yang kecil itu, Spotify menjadi layanan streaming yang banyak digunakan penikmat musik kiwari. 

“Itu enggak adil dan tidak bisa diandalkan untuk musisi di luar kaliber jutaan pendengar,” ujarnya. “Spotify, sih, kayak kepalsuan [di] sosial media, ya. Kasih awareness, tapi nggak kasih kamu duit.” 

Pengalaman serupa dirasakan juga oleh Yudhistira Agato, gitaris band Vague dan Jirapah, dua-duanya berasal dari Jakarta. Berjarak sekitar satu tahun selepas album Vague, Footsteps (2014), dimasukkan ke Spotify, sebuah pemberitahuan masuk ke email-nya, memberi kabar bahwa mereka memperoleh ongkos sebesar Rp600 ribu. 

“Lumayan kaget, sih. Karena [uang segitu] kayak setara jual 20 CD di waktu yang enggak lama,” ucapnya, terkekeh. “Padahal itu udah setahun [di Spotify], tapi cuma dapat segitu doang.” 

Sejak saat itu, Yudhis, panggilan akrabnya, berusaha untuk tak berekspektasi apa-apa dengan layanan streaming macam Spotify. 

Apa yang dialami Gisella maupun Yudhis merupakan segelintir contoh kecil betapa layanan streaming musik seperti Spotify masih meninggalkan masalah yang cukup pelik, jika tidak bisa disebut sebagai ketidakadilan. 

Pertumbuhan Pesat, Tetapi Pelit 

Kendati tak pernah terbuka kepada publik, jika ditaksir, Spotify rata-rata hanya memberi 0,0032 dolar Amerika Serikat (AS) per stream. 

Layanan streaming lainnya tak jauh lebih baik. Apple Music diperkirakan cuma memberi 0,0056 dolar AS per stream kepada musisi. Google Play Music senilai 0,0055 dolar AS per stream. Kemudian Amazon 0,01196 dolar AS, Tidal di angka 0,00989 dolar AS, serta YouTube rata-rata 0,00802 dolar AS. 

Semua punya kesamaan: kurang dari satu dolar. Artinya, bila Anda ingin mengumpulkan satu dolar, minimal lagu di Spotify harus diputar sebanyak lebih dari 200 kali. Dan yang perlu diperhatikan dengan seksama: angka fee tersebut tidak semuanya masuk ke kantong musisi, melainkan dibagi pula ke distributor maupun label. 

Kendati kikir, tak bisa dipungkiri Spotify masih jadi platform favorit anak muda mengakses musik. Musisi jelas ingin mengambil ceruk pasar tersebut, berebut kue di tengah lautan jenis musik. 

Layanan Spotify merupakan salah satu kanal streaming yang laris dipakai di Indonesia. Data menyebut bahwa mereka dipakai sekitar 46,6 persen konsumen di Indonesia, di belakang JOOX (50,9 persen) serta YouTube (64,5 persen). 

Di Indonesia, menurut riset Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, jumlah stream di Spotify dapat menyentuh angka 81 juta per minggu. Temuan ini dipublikasikan pada 2019 serta diperoleh dari analisa terhadap streaming lagu Top 200 setiap minggu, dari Desember 2016 hingga Agustus 2019. 

Hampir 84 persen pengguna adalah kelompok usia muda, terbentang dari usia 15 sampai 34 tahun. Secara global, pada 2019, misalnya, pengguna layanan streaming yang memilih Spotify sebesar 35 persen, mengungguli Apple Music (19 persen), Amazon (15 persen), serta Tencent (11 persen). 

Apabila diurai lebih jauh, angka pengguna Spotify secara global konsisten naik sejak kuartal pertama 2015 sampai kuartal kedua 2021. Hanya dalam kurun waktu sekira enam tahun, lonjakannya cukup signifikan: dari 18 juta menjadi 165 juta. 

Pencapaian itu berbanding lurus dengan pendapatan yang mereka terima. Tercatat per 31 Desember 2020, Spotify berhasil mengumpulkan pundi-pundi sebesar 7,88 miliar euro. Sepanjang kuartal pertama 2020 hingga kuartal pertama 2021, mereka menambah 27 juta pengguna baru, lebih banyak ketimbang layanan streaming mana pun. 

Sementara layanan streaming global tumbuh sebesar 19,9 persen—setara dengan 13,4 miliar euro year-on-year. 

Herry “Ucok” Sutresna, salah seorang pendiri kolektif Grimloc Bandung, adalah salah satu yang sedang berupaya lepas dari Spotify. Ia mengatakan bahwa semua rilisan Grimloc, yang diunggah sejak 2017, bakal ditarik bertahap dari Spotify. 

“Kemarin waktu memutuskan masuk ke Spotify, kami sedang proses belajar, belajar teknologi karena kami bisa dibilang generasi gelap soal itu. Tapi, setelahnya, dipikir-pikir dan dijalani, kok, rasanya enggak adil juga, ya?” paparnya. 

“Trigger-nya adalah selain soal perkara teknis, saya baca dari media luar yang menyebut bahwa Spotify hadir bukan untuk menyelesaikan persoalan royalti, melainkan untuk memecahkan masalah copyright,” tambahnya. 

Hitung-hitungan Ucok, selama 2017 hingga 2021, Grimloc hanya bisa menjaring pendapatan dari layanan streaming—di semua kanal—sebesar 1.000 dolar AS. Itu pun dengan syarat bahwa fee baru dapat ditarik setelah terkumpul 500 dolar AS terlebih dahulu. Dari keseluruhan layanan streaming yang Grimloc jajaki, Spotify cuma menyumbang sekitar 20 sampai 25 persen dari total pendapatan. 

“Padahal, secara stream, [di Spotify] itu dua kali iTunes. Poinnya adalah bahwa Spotify [menyumbang fee] kecil banget,” tegasnya. 

Baca lanjutannya: Menguak Rumitnya Hubungan Musisi Lokal dengan Spotify (Bagian 2)

Related

Entertaintment 4472213738538433766

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item