Mitos-mitos Tentang Asal Usul Penciptaan Dunia dan Isinya (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mitos-mitos Tentang Asal Usul Penciptaan Dunia dan Isinya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Nyaris seluruh manusia di bumi tahu tentang kisah Tuhan yang menciptakan alam semesta, yang juga menciptakan Adam-Hawa di Surga. Kisah itu disakralisasi dan diyakini dalam berbagai versi oleh tiga agama berasal dari wilayah Timur Tengah, yang kini disebut Yahudi, Kristiani, dan Islam. 

Dengan kata lain, kisah tentang ‘tokoh sebelum segalanya ada’ itu dibuat sedemikian rupa, lalu ditambahi ornamen ritual penyembahan, doktrin-doktrin keyakinan, dan dilengkapi dengan hukuman/dosa bagi siapa saja yang tidak meyakininya. 

Kumpulan satu set dogma ini dinamakan agama. Dibakukan dalam seperangkat kodifikasi manuskrip manusia yang disebut ‘kitab suci’. Disebarkan oleh pemuka agama, atau orang-orang/institusi/otoritas yang merasa paling berhak berbicara tentang dogma-dogma tersebut.

Kemudian dalam proses meme manusia, agama digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan psikis manusia, seolah-olah ada ‘yang lain’ yang berkuasa atas mereka. Bahkan oleh manusia pula, agama dijadikan alat untuk menguasai sesamanya. Entah untuk tujuan kepatuhan, surplus ekonomi, stabilitas politik, pemenuhan moralitas sentimental, dan lain sebagainya.

Kini manusia telah memasuki—bahkan melewati—abad renaissance, abad pencerahan. Sejumlah orang kembali ke titik awal dan berangkat untuk menemukan kembali pengetahuan yang terlepas dari pemikiran teologis dan metafisik. 

Mungkin mirip seperti tahapan pemikiran manusia yang dikatakan oleh Auguste Comte (meski tidak terlalu tepat); dari tahapan teologis, metafisik, menuju positivistik.

Pada awal-awal abad pencerahan, geliat pengetahuan mulai memperlihatkan keterbukaan terus-menerus terhadap data baru yang dapat ditinjau kembali, difalsifikasi, dan diperluas. 

Analisis rasional mengenai data empirik akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh fakta-fakta. Pandangan pengetahuan sains dijadikan dasar serta strategi untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan di masyarakat.

Dalam konteks mengenai asal-usul alam semesta, para ilmuwan bekerja dengan menyusun ‘model’ untuk menemukan jawaban mengenai bagaimana alam semesta muncul. Pada pertengahan abad kedua puluh, ada dua model yang bersaing; teori steady state dan big bang.

Teori steady state terbukti keliru. Menurut teori ini; tidak pernah ada asal mula; alam semesta senantiasa ada dalam kondisi yang kurang-lebih sama seperti sekarang. Di sisi lain, teori big bang mengajukan bahwa alam semesta dimulai pada suatu ledakan besar. Bahkan hingga kini, bukti-buktinya terus-menerus bertambah. 

Seluruh alam semesta ‘yang bisa diamati’ meledak dan muncul antara13 dan 14 miliar tahun lalu. Mengapa ada kata-kata ‘sejauh yang bisa diamati’? Itu berarti bahwa, alam semesta yang bisa diakses oleh peralatan-peralawan paling canggih sejauh ini. 

Barangkali ada semesta lain yang belum bisa diamati. Namun, dengan perhitungan tertentu dan observasi atas galaksi-galaksi yang semakin menjauh dari galaksi bima sakti, maka dapat dipastikan bahwa alam semesta berkembang terus.

Sejumlah ilmuwan berpendapat bahwa ruang waktu bermula dalam ledakan besar, dan kita tidak bisa mempertanyakan apa yang terjadi sebelum ledakan besar, karena tidak ada yang bisa diteliti. 

Bahkan ketika ada ilmuwan yang mengungkapkan tentang empat forsa/gaya yang menyebabkan big bang (strong nuclear, weak nuclear, electromagnetism, and gravity), mereka tetap tidak mengatakan bahwa seperti itulah kondisi sebelum ledakan besar terjadi. 

Artinya, sains tidak mau terjebak dalam pengandaian superstition atau perancang agung (grand designer) yang bercokol di langit ketujuh—atau di mana pun tempatnya—seperti yang diagung-agungkan oleh teologi dan mistifikasi.

Barangkali, di sinilah kemudian para teolog yang seolah saintifik, seperti kalangan kreasionis, berusaha menambal keadaan itu dengan memasang sosok ‘sebelum segalanya ada’ yang dijuluki Tuhan (dengan beragam namanya) tanpa adanya bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, diverifikasi, difalsifikasi, selain berdasarkan kisah-kisah dongeng semata. 

Demikian pula dengan teori evolusi, yang diajukan oleh ilmuwan bernama Charles Darwin, kerap disalahpahami oleh kalangan kreasionis dan praktisi cocklogi. Padahal, gagasan Darwin tidak stagnan. Terus-menerus dikaji dan diteliti, tak luput pula dari koreksi oleh ilmuwan-ilmuwan sesudahnya.

Gagasan tersebut merupakan gagasan paling penting yang pernah muncul dalam benak manusia. Gagasan Darwin menjelaskan bagaimana makhluk hidup berkembang dari mikro-organisme atau organisme sederhana menjadi organisme yang kompleks. 

Begitu juga dengan kehidupan di Bumi. Evolusi berjalan sangat lambat dan bertahap, seperti halnya tata surya kita di galaksi Bima Sakti yang juga terbentuk secara bertahap dan memerlukan proses berjuta tahun lamanya (usia Bumi sekitar 4 miliar tahun). 

Bahkan, kebertahapan evolusilah yang memungkinkannya sebagai penjelasan nyata, yang betul-betul bekerja, dan punya bukti nyata untuk menunjukkan kebenarannya. 

Sedangkan mitos-mitos yang menunjukkan bahwa alam semesta dan kehidupan di bumi muncul mendadak dalam sekejap (bukan berevolusi secara bertahap), hanyalah cerita orang malas—tidak lebih baik daripada sihir fiksi di ayunan tongkat ajaib ibu peri.

Related

Mistery 1237775368363602720

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item