Review Lie with Me, Kisah Pemberontakan Anak-anak Muda Pada Norma Masyarakat


Naviri Magazine - Lauren Lee Smith (Leila) dan Eric Balfour (David), berasal dari keluarga kelas menengah perkotaan yang ingin membebaskan diri dari berbagai pembatasan dan pengaturan hidup nilai-nilai masyarakat. 

Film yang diangkat dari novel dengan judul sama, yang ditulis Tamara Berger dan disutradarai Clement Virgo, ini memang tidak berhasil menunjukkan pemberontakan dua anak muda itu terhadap nilai-nilai puritan yang dijunjung tinggi masyarakat, misalnya orang muda yang belum menikah tidak boleh melakukan hubungan seks. 

Meskipun demikian, gambaran sekilas mengenai situasi masyarakat yang telah terpecah dan tidak sanggup mempertahankan nilai-nilai moral puritannya bisa ditemukan dalam beberapa adegan. 

Coba Anda bayangkan kata-kata ayah David (Joshua) yang mengizinkan putranya bisa membawa pacar ke rumah mereka, dan boleh melakukan hubungan seks sesuka mereka. Kata Joshua, ”Kamu boleh melakukan hubungan badan sebelum menikah di rumah ini.”

Film Lie with Me memang bukan film yang kuat karakter dan ceritanya. Film ini hanya memanjakan mata kita dengan berbagai pesona kehidupan kelas menengah—apartemen yang mewah dan artistik, keindahan dan glamornya hidup manusia, dan tentunya dorongan seks. 

Film ini memotret perubahan pandangan kaum perempuan terhadap kehidupan dan seks. Ketika pandangan masyarakat tradisional mengatakan bahwa perempuan harus mengikatkan diri sebagai istri pada seorang pemuda yang menyukai, melamar, dan menikahinya, dan kemudian memberikan seluruh dirinya kepada pekerjaan domestik pengurusan suami, anak-anak, dan rumah tangga, Leila menunjukkan pemberontakannya. 

Lihat bagaimana pandangan liberalnya mengenai seks. Dalam salah satu dialog, Leila mengatakan, ”Saya tidak ingin menjadi orang baik. Saya tidak mau menjadi seorang gadis manis. Saya hanya ingin menjadi seorang gadis nakal hanya demi dia [sang pemuda pujaan hatinya]. Saya hanya mau menyetubuhinya. Ketika saya bisa bersetubuh dengannya bukan demi mendapatkan cintanya, saya akan berhenti berlari.”

Karakter Leila yang digambarkan dalam film ini sungguh-sungguh pemberontakan terhadap berbagai kontrol dan domestikasi dorongan seks. Leila dipotret sebagai orang yang nyaris memenuhi seluruh dorongan seksnya. 

Dia tidak peduli dengan berbagai pembatasan nilai dan norma, dan, demi memuaskan dorongan seksualnya, dia berani mengambil inisiatif, mencari dan menemukan siapa saja pria yang mau memuaskan nafsunya. Apa yang ingin dicapai atau diraih Leila? 

Dalam dialog dia mengatakan, “Aku berharap untuk bisa mengendarai sepedaku selamanya. Aku berharap agar matahari tidak pernah terbenam. Musim panas akan terus berlanjut dan terus demikian, sampai semua orang keluar ke jalan-jalan dan merasakan seperti yang aku rasakan.” 

Apa yang Leila rasakan? Bagi Leila, semua dorongan alamiah seharusnya diekspresikan dengan bebas tanpa pembatasan, termasuk ekspresi dorongan seksual yang oleh masyarakat dianggap tabu dan dilarang untuk diekspresikan secara publik.

Tapi, apakah gaya hidup liar sebagaimana ditunjukkan Leila berhasil mewujudkan apa yang dicita-citakan? Sayang film ini tidak berhasil menunjukkan potret itu.

Bagaimana pun, kenikmatan seks bisa membelenggu dan menjerat kalau tidak dikelola atau dibudayakan masyarakat. Film ini menunjukkan bagaimana Leila yang sebelumnya mau bercinta dengan siapa pun laki-laki yang dia mau tanpa harus mendapatkan cinta mereka, kini sangat melekat dengan David. 

Cinta dan gairah seks yang diekspresikan oleh dua anak muda ini sungguh-sungguh ”memenjarakan” mereka, membuat mereka jadi ”satu tubuh” yang tidak mungkin bisa dipisahkan.

Related

Film 177574599274223541

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item