Orang Introvert Lebih Nyaman Saat Pandemi karena Bisa Sering Menyendiri? (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Orang Introvert Lebih Nyaman Saat Pandemi karena Bisa Sering Menyendiri? - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Dilansir dari Refinery29, seorang staf bidang personalia bernama Taylor, adalah seorang introvert yang menyambut pandemi dengan baik-baik saja. Namun demikian, seiring pandemi berlalu, Taylor mengaku bahwa dirinya berangsur-angsur jadi ekstrovert. “Saya jadi ingin bicara lebih banyak,” ujarnya. 

Pandemi yang berkepanjangan ini mendorong Taylor untuk merangkul beberapa teman dan merancang kegiatan bersama setiap akhir pekan, sesuatu yang Taylor pandang sebagai perubahan besar dalam hidupnya. 

Masih dikutip dari Refinery29, seorang introvert bernama Jenn Granneman, pendiri platform komunitas Introvert, Dear dan Highly Sensitive Refuge, mengaku tak lagi memiliki daya semangat tinggi untuk mendekam di rumah seperti dirasakannya pada hari-hari pertama karantina. 

“Saya merasa siap untuk memberikan waktu pada lebih banyak orang, hal yang mungkin aneh untuk diungkapkan seorang introvert,” ujarnya. 

Granneman mengaku terkungkung di dalam rumah, sampai-sampai sekarang begitu bersemangat untuk kembali menjalani hidup normal. Terlepas dari itu, ia yakin bahwa hasrat tersebut tak akan berlangsung lama. “Paling, seminggu kemudian saya bakal memohon-mohon untuk dibiarkan sendiri lagi,” ujarnya. 

Selain menunjukkan perilaku dinamis, orang introvert juga tidak terbebas dari isu-isu psikologis yang bermuara dari kenyamanannya untuk menyendiri. 

Dalam studi yang hasilnya dirilis di jurnal Frontiers in Psychology, Maryann Wei dari University of Wollongong, Australia melakukan penelitian tentang dampak psikologis dari penerapan aturan jaga jarak dan karantina terhadap 114 responden, mayoritas berada di Amerika Serikat dan segelintir dari Inggris Raya, Kanada, Australia, Jerman. 

Hasilnya, introversi yang semakin tinggi diasosiasikan dengan meningkatnya rasa kesepian, depresi dan kecemasan. Temuan di atas berkaitan dengan kecenderungan orang introvert untuk tidak mencari bantuan dari pihak luar ketika mengalami permasalahan. 

Mengutip temuan Shapiro and Alexander, Wei menjelaskan bahwa ketika dihadapkan pada emosi negatif, orang introvert cenderung berpaling ke diri sendiri untuk mengatasinya.
 
“Terlepas perilaku introspektif bisa memfasilitasi pengaturan diri secara emosional, kebiasan tersebut juga bisa jadi pedang bermata dua karena melanggengkan internalisasi, ruminasi dan kekhawatiran—masing-masing merupakan dasar kognitif utama dari kesepian, depresi dan kecemasan,” tulis Wei. 

Ekstroversi-Introversi Saja Tidak Cukup 

Bagaimana dengan respons kaum ekstrovert terhadap pembatasan selama pandemi? Lis Ku, dosen psikologi di De Montfort University, Inggris dalam artikel di The Conversation mengutip studi terbaru tentang bagaimana kelompok introvert dan ekstrovert menunjukkan perbedaan gejolak stres dan mood (suasana hati) sepanjang pandemi. 

Studi ini diikuti oleh 484 mahasiswa tahun pertama di University of Vermont, AS yang mengikuti perkuliahan sepanjang semester musim semi (dimulai bersamaan dengan penyebaran pandemi). Hasilnya, anak-anak yang memiliki kadar ekstraversi rendah (introvert) cenderung mengalami peningkatan stres, sedangkan tingkat stres di kalangan murid dengan ekstraversi tinggi (ekstrovert) relatif melandai. 

Sehubungan dengan suasana hati yang riang atau positif, grafik di kalangan mahasiswa ekstrovert justru menunjukkan tren melandai, berbeda dari anak-anak introvert yang mood baiknya cenderung meningkat. Terlepas dari itu, Ku menekankan, kelompok ekstrovert secara umum tetap punya mood lebih positif daripada teman-temannya yang introvert. 

Dalam pandangan Ku, kurang tepat apabila dimensi ekstroversi-introversi digunakan sebagai satu-satunya tolak ukur respons seorang individu terhadap pandemi. Pasalnya, ada sejumlah kombinasi kepribadian yang memberikan dampak berbeda-beda ketika seseorang dihadapkan pada kondisi karantina. 

Ku berpendapat, dimensi-dimensi selain extraversion turut mempengaruhi bagaimana orang bereaksi terhadap pandemi. Kesemuanya tergabung dalam Teori Kepribadian Model Lima Besar, terdiri atas dimensi extraversion (ekstroversi dan introversi), openness (keterbukaan terhadap pengalaman baru), conscientiousness (teratur, tekun, berorientasi tujuan), agreeableness (sikap kooperatif), dan neuroticism (ketahanan terhadap stres, ketidakstabilan emosional). 

Selama ini, orang-orang ekstrovert kerap dielu-elukan karena kesehariannya suka diasosiasikan dengan kegiatan yang positif dan menyehatkan. Namun, seperti Ku tuturkan, justru dimensi ketekunan dan keteraturan (conscientiousness) yang bisa memprediksi perilaku individu terkait hal-hal yang menyehatkan. 

Selain itu, meskipun orang-orang ekstrovert sering dipandang keren karena bisa mempertahankan jaringan pertemanannya yang lebih luas daripada introvert, dimensi agreeableness-lah yang dipandang lebih esensial untuk memperkirakan kualitas dari relasi pertemanan tersebut.

Related

Psychology 1477563154945952155

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item