Ancaman Bahaya Kesehatan di Balik Pakaian yang Kita Kenakan


Naviri Magazine - Pakaian adalah hal penting bagi manusia, khususnya untuk manusia modern. Karena setiap hari kita memakainya, setiap saat kita membutuhkannya. Kita butuh pakaian untuk sekolah, bekerja, bepergian, dan lain-lain. Bahkan ketika di rumah atau sedang tidur sekali pun, kita mengenakan pakaian. Karena kebutuhan pula, kita membeli pakaian secara rutin, untuk berbaai keperluan.

Pernahkah kita membayangkan sejak kapan peradaban manusia mengenal pakaian? Kita yang hidup di zaman sekarang tentu menganggap pakaian bukan barang aneh. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang hidup sekian abad lampau, ketika kain belum dikenal seperti sekarang?

Pakaian manusia diperkirakan dibuat pertama kali pada 500.000 tahun yang lalu. Sejak itu, pakaian mengalami transformasi panjang. Baik dari segi bahan, gaya, maupun fungsi. Melongok pakaian dari bahan bisa jadi salah satu cara menyimak kemajuan dan transformasi di bidang teknologi pakaian. 

Pada awal kemunculannya, pakaian dibuat dari daun, rumput, juga kulit binatang. Di era kini, teknologi yang makin maju memungkinkan umat manusia membuat baju dengan berbagai fungsi tambahan. Mulai menyerap keringat, hingga anti kusut.

Baju era modern terbuat dari benang yang disusun dari serat. Ada dua kelompok serat dalam industri pakaian: alami dan sintetis. Saat ini lebih dari 60 persen konsumsi serat global terdiri dari serat sintetis yang disusun dari partikel minyak bumi, seperti poliester dan spandex. 

Sementara serat alami dari kapas hanya digunakan sebanyak 25 persen, wol sekitar 1 persen, dan serat alami lainnya (rami, linen, dll) sebanyak 5 persen. Sisanya sekitar 6,6 persen merupakan serat selulosa berbasis kayu, misalnya rayon. 

Teknik pembuatan pakaian modern ini punya dua sisi mata uang. Dari segi teknologi, pembuatan pakaian makin mudah dan murah, serta banyak yang lebih nyaman dengan fungsi-fungsi tambahan. Namun bahan pakaian ini juga sebaiknya membuat kita waspada.

Baik serat alami maupun buatan sama-sama punya kekurangan. Serat sintetis bisa menghalangi keringat secara alami. Akibatnya, racun yang seharusnya dikeluarkan lewat keringat jadi terhalang. Sedangkan tumbuhan penghasil serat ternyata lazim menggunakan pestisida. 

Bahan kimia tersebut dapat terserap lewat kulit saat pakaian dikenakan. Berlanjut pada proses pewarnaan dan pengelantangan, selain pewarna, ada juga zat penguat warna (mordant), zat anti kerut, anti tungau, anti air, dan anti panas ditambahkan pada proses ini.

Selain itu, dalam derajat tertentu, banyak bahan pakaian maupun pewarna yang mengandung senyawa berbahaya. Bahan pewarna azo, misalnya. Ia bisa melepaskan bahan kimia bernama amina aromatik ketika dipakai. 

Zat ini bersifat toksik, alergan, dan menyebabkan kanker. Penelitian yang dilakukan Brüschweiler BJ dkk menemukan bahwa 17 persen sampel pakaian mengandung amina aromatik dalam proses pewarnaan.

Sekarang coba tilik lemari Anda, pernahkah membeli pakaian dengan kelebihan anti kerut, anti jamur, anti air/keringat dan anti-anti lainnya?

Ternyata mereka punya kandungan tambahan berupa PFC dan EPA. Kedua zat ini diyakini dapat mengganggu sistem hormon, mengurangi fungsi kekebalan tubuh, dan bersifat karsinogenik. Untuk menghasilkan pakaian yang mengandung anti tungau, tahan noda, dan api, juga ditambahkan zat bernama PBDE. 

PBDE sangat beracun karena dapat berakumulasi dalam jaringan setiap organisme. Gangguan tiroid paling umum terjadi karena PBDE (Bromide) meluruhkan iodine dan membuat tubuh kekurangan zat tersebut. 

Dampak kesehatannya mungkin tak akan Anda rasakan ketika mengenakan pakaian. Namun, akumulasi ragam zat kimia pakaian akan diserap tubuh dan memengaruhi kinerja hati dalam menetralisir racun. 

Related

Health 5707711262244039501

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item