Perjalanan Ilmuwan Merekonstruksi Tulang dan Fosil Dinosaurus

Perjalanan Ilmuwan Merekonstruksi Tulang dan Fosil Dinosaurus

Berkat berdekade-dekade mengalami kesalahan di masa lalu, kini kita punya panduan dalam merekonstruksi tubuh dinosaurus. Seperti halnya kelompok hewan lain, dinosaurus punya "basic body plan" atau bangun tubuh dasar yang bisa digunakan untuk merekonstruksi dinosaurus tergantung kelompoknya.

Dalam hal ini, klasifikasi sangat penting. Karena klasifikasi pada dasarnya adalah mencari persamaan dan perbedaan, ketika kita mengenali suatu persamaan atau perbedaan di kerangka yang kita teliti, interpretasi kita pada keseluruhan organisme tersebut bisa berbeda, tergantung klasifikasinya.

Tentu pernah terlintas di benak kita pertanyaan seperti, 'Gimana caranya mereka bisa tahu dinosaurus ini berbentuk seperti ini?' atau, 'Dari mana mereka tahu warna kulit dan bulu hewan ini?'

Ada dua tantangan utama mengenai bagaimana kita merekonstruksi dinosaurus.

Tantangan pertama adalah dari ketersediaan fosil yang ada.

Tidak semua fosil dinosaurus ditemukan utuh. Namun, sejauh ini fosil yang ditemukan utuh sudah mencakup lima kelompok dinosaurus utama dan lusinan kelompok klasifikasi yang lebih detail, sehingga kita bisa menggunakan bangun tubuh tersebut sebagai acuan.

Misalnya, ketika kita menemukan fosil di Oklahoma pada tahun 1994. Para paleontolog sempat mengira fosil tersebut adalah fosil batang pohon, karena dianggap terlalu besar untuk fosil hewan. Setelah diteliti lebih lanjut pada 1999, barulah diketahui bahwa ternyata fosil berusia 112 juta tahun tersebut adalah milik dinosaurus, lebih tepatnya leher seekor dinosaurus yang sangat besar.

Di tahun 2000, paleontolog menamai dinosaurus ini Sauroposeidon, yang artinya "kadal dewa gempa bumi"—merujuk pada Poseidon.

Berhubung sejauh ini yang ditemukan baru lehernya, bagaimana mereka bisa tahu bentuk tubuhnya?

Itu karena mereka mencocokkan bentuk tulang leher ini dengan tulang leher dinosaurus berleher panjang lain yang mirip, yaitu Giraffatitan dan Brachiosaurus, yang kerangkanya lebih lengkap.

Tulang leher Sauroposeidon mirip dengan kedua dinosaurus tersebut, dan sejauh ini mereka diperkirakan satu keluarga. Para ahli lantas menggunakan Giraffatitan dan Brachiosaurus sebagai model, lalu memperbesarnya hingga seukuran tulang leher Sauroposeidon. Hasilnya adalah dinosaurus raksasa setinggi 18 meter, dengan taksiran panjang mencapai 30 meter dan bobot setidaknya 60 ton.

Bagaimana jika kelak ditemukan bahwa Sauroposeidon tidak berbentuk seperti itu? Mudah sekali, tinggal terbitkan jurnal dan paper yang merevisi bentuk dan klasifikasinya. Di zaman internet seperti ini, informasi baru tersebut akan dengan cepat tersebar luas.

Salah satu kasus inakurasi lainnya adalah yang "menimpa" Megaraptor namunhuaiquii. Dinosaurus ini ditemukan pada tahun 1998 di Argentina. Saat itu, yang ditemukan hanya satu cakar berbentuk sabit sepanjang 30 cm.

Cakar sabit sudah jelas merupakan ciri khas dinosaurus anggota Dromaeosauridae ("raptor") yang mempunyai cakar serupa di kakinya. Bedanya, cakar sabit Megaraptor sangat besar, yaitu 30 cm! Jauh lebih besar dibanding cakar sabit Dromaeosauridae mana pun. 

Mereka segera mengklasifikasikannya sebagai Dromaeosauridae paling besar yang pernah ada, sampai pada 2010 ditemukanlah fosil badan yang lebih utuh, yang menunjukkan bahwa ternyata cakar tersebut tidak berada di kaki, melainkan di jempol.

Akhirnya, mereka merevisi rekonstruksi Megaraptor dari dinosaurus "raptor" raksasa, menjadi dinosaurus karnivora berukuran sedang yang biasa saja, selain fitur unik di jempolnya itu.

Ketika ditemukan bukti bahwa suatu hewan prasejarah ternyata tidak terlihat atau tidak berperilaku seperti yang kita anggap hebat, kita tetap harus mempublikasikan penemuan tersebut dan tidak boleh memelintirnya. Paleontologi adalah sains. Fosil tidak peduli tentang kesukaan kita.

Paleontolog bergelut dengan ego ini, baik dari dalam diri mereka maupun di masyarakat, sejak pertama kali fosil dinosaurus ditemukan. Mereka tadinya "memaksakan kehendak" bahwa yang namanya dinosaurus itu reptil raksasa, bersisik, lamban, tidak aktif, tidak bersosial, dan sebagainya.

Banyak fosil dinosaurus berukuran kecil yang ditemukan sebelum tahun 1950-an diabaikan (dalam arti kurang dipelajari) karena dianggap tidak menarik. Tidak 'wah'. Tidak merepresentasikan dinosaurus.

Sampai akhirnya fosil Deinonychus dipublikasikan pada tahun 1969.

Deinonychus sebenarnya ditemukan tahun 1931. Tetapi, seperti yang tadi kita ketahui, spesies ini berada di bayang-bayang dinosaurus yang lebih besar dan lebih populer, sampai paleontolog bernama John Ostrom menyadari bahwa Deinonychus mempunyai potensi besar untuk memperbarui persepsi manusia tentang dinosaurus.

Deinonychus berukuran kecil, panjangnya cuma 3 meteran, namun menunjukkan ciri-ciri "dinosaurus banget" sekaligus mendobrak keyakinan bahwa dinosaurus adalah reptil lambat. Deinonychus jelas-jelas ramping, lincah, dan cepat. Kerangkanya bahkan membuka jalan pemikiran bahwa burung dan dinosaurus ternyata bersaudara lebih dekat dari yang orang-orang duga sebelumnya.

Sejak itu, era paleontologi pasca penemuan Deinonychus dijuluki sebagai Dinosaur Renaissance.

Ketika membicarakan rekonstruksi dinosaurus, kita membicarakan soal paleoart atau ilustrasi kehidupan prasejarah. Paleoart telah menjadi bagian dari budaya modern, dan bisa kita temukan dengan gampang di internet. Misalnya karya Fred Wierum yang mengilustrasikan Deinonychus.

Apakah para paleoartists cukup jago menggambar saja? Ternyata tidak. Seniman paleoart yang baik juga harus mempelajari anatomi dan morfologi, terutama objek yang ingin mereka gambar. Mereka tidak bisa begitu saja cuma mengetahui nama dinosaurus yang mereka gambar, lalu mengilustrasikannya sesuka hati.

Related

Science 2549075768936913519

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item