Kisah Para Ilmuwan dan Pemikir yang Melajang Seumur Hidup (Bagian 1)


Di abad ke-20, ada seseorang yang paling menonjol, yaitu Nikola Tesla, yang meninggal pada 7 Januari 1943. Orang Amerika kelahiran Kroasia ini dikenang berkat penemuan mekanisme alternating current (AC) dalam bidang kelistrikan dan prediksi jeniusnya tentang dunia nirkabel. 

Kini orang-orang bahkan melihat namanya ada di mana-mana: sebagai Satuan Internasional (SI) dari intensitas magnet dan merek dagang perusahaan mobil elektrik. 

Dari abad-abad sebelumnya, deretan ilmuwan lajang bisa lebih panjang. Sebut saja Leonardo da Vinci, Copernicus, Newton, Hume, Descartes, Leibniz, Voltaire, Spinoza, Pascal, dan Immanuel Kant. 

Sains, etika, pengetahuan modern—dari empirisisme, rasionalisme, hukum gravitasi, prinsip negara hukum, hingga listrik dan komputer—sebagian berasal dari buah pikiran orang-orang yang memilih jalan pedang untuk terus seorang diri sepanjang hayat. 

Sains vs Rumah Tangga 

Sebutir apel jatuh di kepala Newton muda yang sedang duduk di bawah pohon, lalu lahirlah teori gravitasi. Hikayat ini sungguh terkenal hingga hari ini, sampai-sampai tidak ada pertanyaan: Apakah dia tidak sedang berasyik-masyuk di bawah pohon? Kalau ya, dengan siapa? Kalau sendirian, siapa yang dia bayangkan? 

Sains, sayangnya, memang mengabaikan hal-ihwal remeh semacam itu. Newton (1643-1727) meninggal dalam keadaan perjaka, tak pernah pacaran, apalagi menikah. Ada yang berspekulasi bahwa Newton seorang homoseksual, aseksual, atau sekadar tak mampu mentolerir keberadaan orang lain di sekitarnya. Namun kehidupan melajang bukan sesuatu yang ganjil pada era Newton. 

Sistem pendidikan tinggi, termasuk di Oxford dan Cambridge (tempat Newton mengajar) mewarisi kultur monastik abad pertengahan yang mewajibkan dosen dan mahasiswa untuk mengambil kaul selibat. Mahasiswa adalah calon padri, yang diajar oleh dosen-dosen yang seumur hidup tinggal dalam komunitas mirip biarawan. Demikian dalam suasana seperti itu, musuh pengetahuan bukanlah iman, melainkan (godaan) berumah tangga. 

Menikah, beranak, lalu membina keluarga bisa menurunkan produktivitas olah pikir—sesuatu yang sejatinya masih relevan untuk zaman kita. Bagi para pemikir perempuan sebelum abad ke-20, situasinya berbeda: sulit untuk memilih lajang di tengah masyarakat yang memahami berumah tangga dan kerja domestik sebagai takdir semua perempuan. 

Namun pada tahun 2006, penelitian National Science Foundation menemukan, 66 persen ilmuwan perempuan di Amerika cenderung memilih melajang. 

Science Mag mencatat pada 2006, Satoshi Kanazawa, psikolog dari Universitas Canterbury, Selandia Baru, menganalisis 280 biografi matematikawan, fisikawan, ahli kimia, dan biolog—mayoritas laki-laki. Dari 280 ilmuwan itu, yang paling sedikit mengalami penurunan produktivitas berkarya pada usia akhir 50-an adalah yang tidak menikah. Pada kelompok yang sama, penurunan produktivitas juga lebih lambat. 

Adapun ilmuwan yang menikah semakin sedikit meneliti dan menulis pada usia 50-an, dengan penurunan volume publikasi yang sangat drastis. "Produktivitas ilmuwan laki-laki cenderung menurun setelah menikah," ujar Kanazawa. 

Tapi dua abad lalu, kehidupan Immanuel Kant justru baru dimulai di pengujung usia kepala lima. Itu pun bukan karena dia kawin, tapi lantaran menerbitkan karya puncaknya, Kritik atas Nalar Murni di usia 57. Dalam Kant, A Biography (2002) Manfred Kuhn mencatat rutinitas sang filsuf Jerman sejak usia 30-an. Tiap pagi, Kant bangkit dari peraduan pukul 5, dilanjutkan minum secangkir dua cangkir teh sambil merokok, lalu menulis sampai pukul 7 dan memberikan kuliah hingga pukul 11. 

Selanjutnya ia menulis, tidur siang, jalan-jalan sore, menghabiskan waktu bersama kawannya, John Green, pedagang asal Inggris, ditutup dengan membaca sampai tidur. 

Tak ada cinta-cintaan dalam usia panjangnya yang menghasilkan karya-karya babon seperti Dasar Metafisika Moral (1785), Dasar Metafisik Ilmu Pengetahuan Alam (1786), Kritik atas Nalar Praktis (1788), Kritik atas Penilaian (1790), Metafisika Moral (1797), yang sampai sekarang memengaruhi manusia modern dalam memahami negara, seni, dan iman. 

Baca lanjutannya: Kisah Para Ilmuwan dan Pemikir yang Melajang Seumur Hidup (Bagian 2)

Related

Science 1627050177301027238

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item