Sejarah dan Kontroversi Becak di Jakarta

Sejarah dan Kontroversi Becak di Jakarta

Naviri.Org - Di bawah kepemimpinan Anies Baswedan, gubernur baru DKI, pemerintah Jakarta akan kembali membebaskan becak beroperasi di wilayah Jakarta. Kebijakan terkait hal itu bisa dibilang kontroversial, karena nyatanya sebagian ada yang mendukung dan sebagian lain menolak. Latar belakangnya bahkan bisa dilacak ke masa lalu. Sebelumnya, becak memang ada di Jakarta, lalu dilarang, lalu diadakan kembali, dan dilarang lagi.

Kenyataannya, becak memiliki sejarah yang panjang, khususnya di Jakarta. Keberadaan “kendaraan tradisional” itu telah ada di Jakarta sejak zaman penjajahan.

Menurut buku Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013) karya Erwiza Erman dan Ratna Saptari (ed.), becak—yang berasal dari bahasa Tionghoa, be artinya kaki dan tjia artinya kendaraan—berkembang pada 1930an. Daerah operasinya di sekitaran Pasar Senen, Jalan Kramat, dan Jalan Hayam Wuruk (Molenvliet).

Pada masa pendudukan Jepang, becak menjadi moda transportasi yang penting, karena sulitnya memperoleh bahan bakar kendaraan bermotor. Menurut buku tersebut, pada 1943 jumlah becak di Jakarta meningkat, dari 100 di masa kolonial menjadi 3.900 di masa pendudukan Jepang.

Setelah kemerdekaan, tepatnya pada 1950an, jumlah becak di Jakarta semakin banyak. Menurut Firman Lubis di dalam bukunya, Jakarta 1950an; Kenangan Semasa Remaja (2008: 126), pada 1951 jumlah becak di Jakarta mencapai 25.000.

Firman mengungkapkan, saat itu para penarik becak harus memiliki "SIM becak", yang disebut rebewes—dari Bahasa Belanda, rijbewijs. Namun, Firman tak tahu persis ujian seperti apa yang harus ditempuh para penggowes becak itu untuk mendapatkan rebewes. Kemungkinan, kata Firman, ujian menghafal rambu-rambu lalu lintas.

Menertibkan becak

Keberadaan becak sebagai alat transportasi kemudian mengusik pemerintah. Becak dianggap tak manusiawi dan menambah keruwetan lalu lintas ibu kota. Pada 1960-an, pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan peraturan-peraturan perihal keberadaan becak.

Pemerintah pusat pun menegaskan, demi Asian Games IV tahun 1963 dan pandangan internasional, makin cepat becak enyah makin baik, karena mempertontonkan eksploitasi manusia.

Sampai kemudian, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) mulai menaruh perhatian khusus kepada becak.

"Lalu lintas di Jakarta adalah persoalan yang rumit. Sejak saya jadi gubernur, masalah ini sudah menyita waktu banyak untuk memikirkan dan merundingkan pemecahan masalahnya," kata Bang Ali dalam memoarnya, Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977 (1993: 232), yang ditulis Ramadhan KH.

Salah satu yang membuat Ali putar otak adalah masalah becak. Mulai September 1970, tindakan tegas diambil untuk menertibkan lalu lintas dari penarik becak. Langkah yang diambil Ali, antara lain melakukan pendaftaran kembali becak-becak yang beroperasi di Jakarta, menentukan warna becak menurut wilayahnya, dan membuat ketentuan terhadap pangkalan becak (1993: 230).

Kemudian, Ali menatanya dengan menetapkan zona bebas becak, zona A, B, dan C. Mengatur becak, diakui Ali, memang sulit. Menurutnya, jika mereka sudah berbondong-bondong melintasi jalan-jalan besar, polisi susah mengatur. Ketika menetapkan aturan zona itu pun gaduh terjadi. Sebagai solusinya, Ali mengerahkan becak motor atau bemo di wilayah Jakarta.

Bemo sendiri menurut Ali merupakan solusi sementara. "Pada suatu hari, bemo pun harus menyisih juga, diganti dengan yang lainnya. Hal ini waktu itu pun sudah saya terangkan," kata Ali.

Menarik melihat bagaimana aktivitas para penarik becak, sebelum Ali menertibkannya. Pada 1969, becak-becak itu banyak beroperasi di stasiun-stasiun kereta, pasar-pasar, terminal-terminal bus, dan sejumlah persimpangan jalan.

Sebuah artikel berjudul "Keringat jang Menitik Disepandjang Djalan" di majalah Tjaraka edisi 28 Januari 1969, mengungkapkan "kebandelan" para penarik becak.

"Ciri khas abang becak di ibu kota ini ialah kebandelan mereka terhadap peraturan lalu lintas. Untuk menghemat waktu dan jarak, tidak segan-segan mereka memotong jalan yang terlarang, bahkan yang penuh dengan simpang siur kendaraan. Tidak mengherankan kalau abang-abang becak ini termasuk orang-orang yang membantu setan jalanan menyabut nyawa-nyawa penumpang atau sekali-sekali mungkin nyawanya sendiri."

Tersirat, di dalam artikel itu, betapa gawatnya persoalan becak di ibu kota.

Pada 1998, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso, pernah mengizinkan becak beroperasi kembali. Hal itu diambil lantaran rakyat sedang kesulitan ekonomi. Meski begitu, Bang Yos tetap membatasi daerah operasinya, di sekitar Tangerang, Depok, Bekasi, gang perumahan, dan pinggiran kota.

Namun, Bang Yos akhirnya kewalahan dengan banyaknya becak yang masuk dalam kota, dan serbuan becak dari daerah. Akhirnya, ia melarang kembali beroperasinya becak. Bahkan, Bang Yos menyikat becak-becak itu dengan dibuang ke laut.

Pada 2007, terbit Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, yang bukan saja melarang becak beroperasi di Jakarta, bahkan melarang merakit becak.

Rencana Gubernur DKI Jakarta, Anies, memang akan mengatur becak untuk tetap beroperasi di kampung-kampung Jakarta. Tapi, apakah tak melanggar peraturan daerah tadi? Jika becak benar-benar kembali beroperasi di Jakarta, apakah bisa menjamin mereka tak masuk jalanan dalam kota?

Baca juga: Jakarta dan Sao Paulo, Kota dengan Kemacetan Paling Gila

Related

Insight 9128791471393045789

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item