Aksi Feminisme, dari Bakar Kutang Sampai Lepas Bra

 Aksi Feminisme, dari Bakar Kutang Sampai Lepas Bra

Naviri.Org - Tanggal 13 Oktober biasa diperingati sebagai No Bra Day, atau Hari Tanpa Bra, yang ditujukan untuk mengingatkan dan membangkitkan kesadaran para wanita mengenai pentingnya menjaga kesehatan payudara, serta sebagai bentuk simpati untuk para penderita kanker payudara. Biasanya, pada hari itu, banyak wanita di berbagai negara yang melepas bra, kemudian menggungah foto-foto mereka di media sosial.

Jauh-jauh hari sebelum dunia mengenal No Bra Day, kelompok feminis pernah melakukan hal serupa, meski dengan tujuan berbeda. Mereka tidak hanya melepas bra, namun juga membakarnya.

Pada tahun 1960-an, misalnya, di Amerika Serikat muncul sekelompok feminis menyerukan protes atas ketidaksetaraan gender di sana. Perempuan masih dianggap hanya pantas berada di ranah domestik dengan mengurus rumah tangga, semata menjadi istri dan ibu belaka.

Pada era yang sama, mereka juga mengkritisi ajang Miss America yang dipandang sekadar mengobjektifikasi kontestan. Mereka juga menganggap kontes macam itu hanya memicu perasaan inferior perempuan-perempuan lain yang tidak memenuhi standar kecantikan di sana.

Kejengkelan para feminis terhadap situasi di Amerika Serikat ini memicu inisiatif gerakan pembakaran bra atau dikenal “bra burning”. Kendati cuma segelintir perempuan yang berpartisipasi membakar kutang, gerakan ini berhasil menghimpun banyak simpati. Pembakaran bra menjadi simbol perlawanan terhadap stereotip perempuan dan perjuangan meraih kebebasan sebagai manusia yang setara laki-laki.

Dalam protes terhadap penggelaran Miss America, tempat sampah yang disebut freedom trashcan diletakkan bagi para aktivis yang ingin membuang dan membakar bra, korset, pengeriting dan jepit rambut, sepatu berhak tinggi, dan macam-macam benda yang diidentikkan dengan feminitas.

Gerakan pembakaran bra tidak serta merta didukung semua kelompok feminis. Pada era 1970-an, muncul kritik terhadap aksi melepas bra dan revolusi seksual yang digadang-gadang oleh sebagian feminis. Di mata para pengkritik, perempuan menggembar-gemborkan kebebasan seksual berarti membuka peluang bagi laki-laki untuk semakin mengobjektifikasi mereka. Seorang legislator Illinois pada masa itu bahkan sempat menyebut feminis yang melakukan aksi melepas dan membakar bra tidak ubahnya perempuan-perempuan bodoh.

Aktivisme yang dilakukan pada era 60-70an merupakan aktivisme para feminis gelombang kedua. Gagasan yang diusung kelompok feminis adalah subjektivitas perempuan, salah satunya bahwa perempuan sepatutnya keluar dari pakem-pakem berbusana yang mengungkung mereka. Personal is political menjadi slogan yang sering dikumandangkan para feminis kategori ini.

Salah satu tokoh feminis gelombang kedua ialah Gloria Steinem yang terlibat dalam Equal Rights Amendment (ERA). Rekam jejaknya sebagai ikon seks memicu percakapan seputar tubuh dan cara berbusana perempuan. Karena menekankan subjektivitas tadi, feminis gelombang kedua meyakini bahwa yang terbaik untuk dikenakan perempuan adalah hal-hal apa pun yang membikin mereka nyaman, sekalipun hal tersebut tak jamak, tabu, atau tak diperbolehkan norma.

Bra tidak pernah hilang. Bukan hanya terus digunakan, tapi bra juga masih dianggap sebagai belenggu bahkan simbol kekuasaan patriarkis. Itulah mengapa gerakan melepas bra tidak hilang bahkan jauh setelah gerakan membakar bra.

Pada 2014, kampanye melepas bra dilakukan pula oleh Lina Esco yang menyutradarai film Free The Nipple. Proyek Esco sebenarnya sudah dimulai sejak 2012 seiring aktivismenya yang menyokong agenda ERA. Gagasan Esco ini bermula dari adanya penangkapan perempuan-perempuan yang bertelanjang dada di 13 negara bagian AS yang sebenarnya telah melegalkan hal ini.

Times menuliskan, Free The Nipple merupakan bagian dari misi mengklaim kembali tubuh, seksualitas, dan keamanan perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak bisa menikmati pengalaman serupa laki-laki dalam hal bertelanjang dada berarti membebani perempuan dengan rasa takut. Selain itu, sikap anti perempuan telanjang dada juga mengindikasikan generalisasi bahwa masyarakat terlalu “rapuh” untuk melihat puting perempuan secara eksplisit. Puting dianggap berbahaya bagi moralitas.

Free The Nipple tidak berhenti pada bentuk film saja. Aktivisme ini merambah pula ke dunia digital, khususnya media sosial, sehingga mampu menjangkau khalayak dari berbagai negara.

Tiga tahun setelah film Esco dirilis, sejumlah perempuan juga sempat melakukan aksi melepas bra di Buenos Aires, Argentina. Aksi ini dilakukan sebagai protes terhadap larangan bertelanjang dada di pantai bagi perempuan. Bila laki-laki tidak dipermasalahkan untuk berjemur dan bertelanjang dada di sana, mengapa perempuan tidak bisa merasakan hal serupa? Demikian argumen mereka.

Baca juga: Polemik dan Kontroversi Gerakan “No Bra Day”

Related

Insight 5357684569965621822

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item