Kisah Ngeri di Balik Kiamat yang Tak Jadi Datang
https://www.naviri.org/2018/08/kisah-ngeri-di-balik-kiamat.html
Naviri.Org - Bayangkan suatu hari Anda menerima pesan di ponsel yang dikirim pemerintah setempat secara resmi, dan pesan itu memberitahu bahwa tempat tinggal Anda akan segera hancur karena mendapat serangan nuklir. Apa yang akan Anda lakukan?
Semua orang yang tinggal di lingkungan Anda mendapat pesan serupa, dan semua orang tahu pesan itu benar-benar resmi dari pemerintah. Jadi, ketika pesan gawat itu datang, dan semua orang menyadari bahwa tempat tinggal mereka akan segera hancur akibat nuklir, mereka pun panik, berlarian, saling berusaha menyelamatkan diri, dan bersiap menghadapi kiamat yang tak lama lagi terjadi.
Kisah ngeri itulah yang terjadi di Hawaii, tempat yang dihuni oleh sekitar 1,5 juta penduduk. Siang hari, 13 Januari 2018, masyarat di sana mendapat pesan di ponsel masing-masing, dengan isi mengerikan:
“BALLISTIC MISSILE THREAT INBOUND TO HAWAII. SEEK IMMEDIATE SHELTER. THIS IS NOT A DRILL.”
(“RUDAL BALISTIK TENGAH MENUJU HAWAII. SEGERA CARI TEMPAT BERLINDUNG. INI BUKAN LATIHAN.”)
Hawaii adalah salah satu kepulauan yang tergabung dengan Amerika Serikat. Beberapa waktu tsebelumnya, AS memang tengah garang-garangnya bertukar ancaman dengan Korea Utara. Bahkan, tak sampai dua minggu sebelumnya, presiden mereka, Donald Trump, mengejek musuhnya itu sebagai negara kurang gizi, dan pamer kalau dia juga punya “tombol” nuklir yang bisa dipencet kapan saja.
“Aku juga punya tombol nuklir. Malah, punyaku lebih besar dan kuat ketimbang dia punya, dan tombolku benar-benar bisa dipakai!” tulis Trump, dalam salah satu twitnya (2/1/2018).
Maka, ketika Hawaii Emergency Management Agency (HI-EMA) mengeluarkan peringatan bahwa sebuah rudal tengah menuju mereka, masyarakat Hawaii langsung percaya. Dan pasrah.
Lagi pula, hampir semua orang di Hawaii tahu kalau rudal balistik berhulu ledak nuklir cuma butuh maksimal 20 menit untuk sampai, meledak, dan menghancurkan hidup mereka.
“Aku hanya bisa mulai minum-minum dan berjalan ke luar dengan santai,” kata Joshua Keoki, warga Mililani, Hawaii, menerangkan apa yang ia lakukan usai menerima pengumuman bahwa tempat tinggalnya menjadi target rudal balistik.
Keoki tetap tenang. Terlampau tenang, malah. Ketimbang mencari perlindungan ke ruang bawah tanah, ia memilih untuk pulang ke rumah dari tempat kerjanya, dan membuka sebotol Hibiki 21, merek wiski yang kerap menerima penghargaan dan tak alang kepalang mahalnya.
“Apa sih yang bisa kita lakukan pada situasi seperti ini? Kita tidak benar-benar bisa melakukan apa pun, jadi ya aku manfaatkan saja sebaik mungkin (sisa waktuku),” katanya, dikutip dari The Guardian.
Akan tetapi, tak semua orang setenang Keoki ketika menghadapi hari akhir. “Semuanya panik,” kata Ashly Trask, salah satu penduduk yang tinggal di Pulau Kauai.
Saat Trask membawa keluarganya ke sebuah taman botani yang memiliki ruang bawah tanah sebagai shelter di kala badai, ia melihat orang-orang di jalanan berpelukan, menangis, dan terlihat terguncang. Hatinya hancur saat saudaranya di pulau lain, yang tak memiliki shelter, menghubunginya.
“Mereka menelepon sambil menangis. Mereka tahu tidak akan sempat menyeberang ke pulau kami dan menuju shelter,” kata Trask.
Bayangan tentang ledakan karena bom berbentuk jamur, di kepalanya, sangatlah mungkin terjadi. “Oh, (kemungkinan mati) ini benar-benar nyata.”
Setidaknya demikian, sampai 38 menit setelahnya. Kiamat batal datang.
Semua berawal di pergantian shift, dari petugas-petugas yang berjaga malam menuju petugas yang berjaga pagi pukul 08.00, Sabtu 13 Januari 2018. Beberapa menit sebelum, pukul 08.00 waktu setempat, supervisor shift malam memberi tahu ke supervisor shift pagi, ia akan melaksanakan latihan kesiapan menghadapi rudal balistik.
“Namun ada miskomunikasi,” ucap James Wiley, kuasa hukum Federal Communications Commission (FCC) yang melaporkan kekacauan yang akan dimulai tersebut, 30 Januari 2018.
“Supervisor shift pagi mengira tes akan dilakukan pada petugas jaga malam. Ia tidak tahu, ternyata yang menangani tes tersebut adalah shift pagi, anggota timnya,” lanjut Wiley.
Maka, sebelum pukul 08.05, saat perintah tes diumumkan, ia tidak memberi tahu ke timnya bahwa akan ada tes. Kekacauan pun dimulai.
Supervisor shift malam menelepon kantor, yang diterima oleh petugas jaga shift pagi di HI-EMA, dan berpura-pura menjadi US Pacific Command (Komando Militer AS yang punya kapasitas memberi peringatan akan adanya ancaman rudal balistik). Ia kemudian memutar pesan rekaman, yang dimulai dengan “exercise, exercise, exercise”—latihan, latihan, latihan.
Namun, pesan utama yang ia gunakan berbeda dengan pesan yang digunakan dalam latihan-latihan rutin sebelumnya. Sebelum ini, HI-EMA telah melakukan 26 kali latihan yang sama.
Malah, dalam pesan yang digunakan terdapat kalimat “Ini bukan latihan” yang biasanya digunakan dalam pesan resmi. Setelah itu, pesan diakhiri kembali dengan penutup, “exercise, exercise, exercise.”
Sayangnya, seperti dilaporkan FCC, petugas jaga pagi yang punya kendali mengumumkan perintah evakuasi tak mendengar kata “exercise, exercise, exercise” tersebut. Yang terdengar jelas di kepalanya justru, “Ini bukan latihan.”
Maka, ketika ia yakin bahwa yang didengarnya bukan latihan, ia langsung menuju menu peringatan langsung di mejanya. Seketika, muncul peringatan terakhir.
“Are you sure that you want to send this alert?” (Apakah Anda yakin ingin mengirim peringatan ini?)
Pukul 08.07, petugas shift pagi itu, yang namanya tak dibuka ke publik, meng-klik pilihan, “Yes.”
Baru pada 08.45, HI-EMA berhasil memberikan pengumuman revisi, bahwa alarm rudal balistik 38 menit sebelumnya adalah kesalahan. “False Alarm. There is no missile threat or danger to the State of Hawaii.”
Semua mata kemudian menuju petugas jaga pagi tadi. Sebut saja laki-laki ini sebagai “Donald”, tentu bukan nama sebenarnya.
Masalahnya, selain dia, lima orang petugas jaga di ruangan yang sama mendengar kata “exercise, exercise, exercise” di telepon dari supervisor jaga malam yang memulai latihan. Hanya Donald yang mengira telepon penanda rudal balistik itu sungguhan.
“Sesaat setelahnya, kami mengetahui bahwa ini adalah latihan. Aku merasa hancur,” ucap Donald dalam wawancaranya dengan Associated Press, dikutip dari The Guardian (3/2). “Aku masih merasa tidak enak gara-gara hal ini. Aku merasa sakit. Rasanya seperti tubuhmu dipukuli berkali-kali.”
Beberapa minggu terakhir menjadi neraka baginya. Ia susah makan, susah tidur. Tak hanya itu, ia mendapat berbagai ancaman dari orang-orang tak dikenal. “Ini seperti neraka.”
Akhir Januari 2018, usai laporan FCC dipublikasikan, Donald langsung dipecat dari posisinya di HI-EMA. Kesaksian teman-temannya memberatkannya. Selain Donald, kepala HI-EMA, Vern Miyagi, mengundurkan diri dari posisinya. Satu petugas jaga lain juga mundur, sementara satu lainnya diberi sanksi.
Berdasarkan kesaksian rekan kerjanya di laporan FCC, ini bukan pertama kalinya Donald tak bisa membedakan peringatan latihan dan kenyataan. Sebelumnya, Donald pernah memberi peringatan soal kebakaran dan tsunami.
“Pegawai ini sudah berada di sini selama lebih dari 10 tahun. Dan selama 10 tahun tersebut, ada indikasi bahwa ia punya masalah dalam performanya. Dalam 10 tahun tersebut, ia kebingungan membedakan latihan dan kenyataan, setidaknya dua kali,” tulis laporan FCC.
Sementara itu, kuasa hukum Donald, Michael Green, mengatakan bahwa kliennya hanya menjadi kambing hitam.
“Ini parah sekali. Mereka menyalahkannya karena harus ada yang bertanggung jawab soal ini. Dia tidak pernah memencet tombol yang salah. Dia hanya melakukan apa yang dilatihkan kepadanya,” ucap Green, dikutip dari Hawaii News Now.
Namun, di balik semua kekacauan itu, satu pertanyaan muncul: mengapa, apabila benar Donald sudah dua kali tidak bisa membedakan keadaan realita dan latihan, ia masih berada di posisi yang sedemikian penting tersebut?
Gene Park, editor Washington Post yang tinggal di Hawaii, menuding ketidakpedulian pemerintah lokal pada reformasi birokrasi dan akuntabilitas kerja sebagai biang keroknya.
“Seperti yang sering kami katakan di pulau ini, ‘E komo mai to Hawaii.’ Selamat datang di Hawaii.”
Baca juga: Proyek Rahasia NASA Dalam Mencegah Datangnya Kiamat