Kisah Pria yang Membatalkan Perang Dunia III

Kisah Pria yang Membatalkan Perang Dunia III

Naviri.Org - Perang Dunia III sempat menjadi isu dan wacana akhir-akhir ini, setelah hubungan Amerika Serikat dengan Korea Utara yang terus panas. Korea Utara, sebagaimana yang diketahui banyak orang, memiliki rudal-rudal nuklir berbahaya. Hal itu ditentang banyak negara, termasuk Amerika.

Dalam hal itu, Amerika umumnya tidak punya toleransi terhadap negara mana pun yang dinilai memiliki potensi ancaman. Karenanya, jika Amerika sampai menyerang Korea Utara, penyerangan itu bisa jadi menimbulkan Perang Dunia III. Bagaimana pun, negara-negara di dunia akan ikut terpengaruh dan terlibat.

Jauh-jauh hari, dunia sebenarnya juga nyaris menghadapi Perang Dunia III, ketika Amerika dan Uni Soviet sedang terlibat dalam perang dingin. Waktu itu, Perang Dunia II belum lama usai, dan hubungan Amerika dengan Uni Soviet memburuk. Keduanya bisa saling serang kapan saja, dan karena itu masing-masing saling berjaga, waspada, kalau-kalau ada serangan dari negara lawan.

Pada waktu itulah, Perang Dunia III nyaris terjadi... kalau saja tidak ada pria bernama Stanislav Petrov. Bisa dibilang, dialah yang telah menyelamatkan dunia dari kemungkinan terjadinya Perang Dunia III. Berikut ini kisahnya.

Tengah malam baru saja lewat, 26 September 1983. Suara sirine menyala. Layar komputer di hadapannya berganti warna merah dengan tulisan “Launch”, memberi tanda peringatan bahwa serangan rudal Amerika Serikat diluncurkan.

Ketegangan hinggap di pundak Stanislav Petrov. Di Serpukhov-15, bungker pusat komando rahasia tempat sistem satelit peringatan dini memantau serangan Amerika Serikat, ia adalah komandannya. Di sana, Petrov bertugas untuk melaporkan pada pihak militer dan pimpinan Uni Soviet jika ada serangan misil.

“Beberapa menit kemudian, sirine menyala kembali. Serangan misil kedua diluncurkan. Hingga peluncuran ketiga, keempat, dan kelima. Sinyal di layar komputer berganti dari ‘launch’ menjadi ‘missile strike’,” ujarnya kepada BBC, tahun 2013.

Satu tangannya memegang telepon, tangan yang lain siap mengangkat interkom. Berdasarkan sinyal yang diberikan, seharusnya ia segera melaporkan serangan tersebut. “Tapi aku tak bisa bergerak, aku merasa seperti duduk di atas panasnya penggorengan,” tutur Petrov.

Tahun itu, suhu Perang Dingin tengah berada di puncaknya.

Tiga minggu sebelumnya, Uni Soviet menembak jatuh pesawat komersial Korea yang terbang melintasi wilayahnya, membunuh 269 orang termasuk anggota kongres AS dari Georgia. Sementara pada 23 Maret, Presiden AS Ronald Reagan mengumumkan kesiapan sistem pertahanan rudal, Strategic Defense Initiative—yang disebut Star Wars.

“Selama 15 detik, kami sangat terkejut. Kami harus memahami apa yang akan terjadi selanjutnya,” kenang Petrov, seperti dikutip dari The New York Times.

Barangkali, jika ia seperti prajurit pada umumnya, yang tunduk patuh pada perintah dan protokol militer, ia akan segera melaporkan sinyal serangan dari sistem peringatan dini bernama Oko (mata—dalam bahasa Rusia).

“Tak ada aturan berapa lama kami diizinkan untuk berpikir sebelum melaporkan serangan tersebut, tetapi kami tahu bahwa setiap detik yang terbuang adalah waktu yang berharga. Kesatuan militer dan para pemimpin politik Uni Soviet harus segera diinformasikan tanpa ada keterlambatan.”

Sementara detik-detik yang menegangkan terus berdetak, dan tanda bahaya jelas di depan mata, intuisi Petrov berkata lain. Setelah sekitar lima menit yang menggelisahkan di antara peta-layar-alarm, ia mencoba menyerap semua informasi yang ditampilkan.

Petrov kemudian menghubungi petugas militer di pusat, dan melaporkan bahwa sinyal peluncuran misil merupakan alarm palsu karena ada kesalahan sistem. Keputusan Petrov amat vital. Jika dia salah, ledakan nuklir pertama akan terjadi beberapa menit kemudian. Sungguh pilihan yang sulit.

“Dua puluh tiga menit kemudian, saya menyadari bahwa tak ada yang terjadi. Sangat melegakan,” katanya, tersenyum.

Jika bukan karena Stanislav Petrov, Perang Dingin yang berlangsung sejak 1946 barangkali akan pecah menjadi Perang Dunia III di 1983.

“Aku tidak mau menjadi orang yang bertanggung jawab dalam memulai Perang Dunia III,” ujar Petrov kepada TIME pada 2015. 

Kemungkinan 50:50

Petrov hanya menebak. Ia tahu bahwa dampak serangan nuklir bisa begitu masif. Sekali tembak, negerinya bisa luluh lantak. Ia juga saat itu tidak benar-benar yakin bahwa alarm tersebut salah.

Petrov adalah satu-satunya petugas di sana yang pernah menerima pendidikan sipil. “Rekan-rekan saya semua tentara profesional. Mereka diajari untuk memberi dan mematuhi perintah.”

Jadi, dia yakin, jika kebetulan orang lain yang sedang bertugas saat itu, Uni Soviet akan segera balas menyerang AS.

“Aku punya keyakinan yang lucu,” tuturnya dalam sebuah wawancara bersama Washington Post tahun 1999. “Aku tidak ingin membuat kesalahan. Sampai akhirnya aku mengambil keputusan, dan begitulah.”

Meski layar monitor berkata lima buah misil diluncurkan, tapi hati Petrov meragukan apa yang terbaca di depan mata. “Untuk memulai perang, tak mungkin hanya lima misil yang ditembakkan. Kerusakan yang dihasilkan tak akan cukup besar.”

Selain itu, operator satelit radar—tim lain untuk memantau serangan AS—tak mendeteksi adanya peluncuran misil. Akan tetapi kedudukan mereka hanyalah sebagai sistem pendukung. Sementara protokol dengan jelas mengatakan bahwa pengambilan keputusan harus sesuai dengan Oko.

Bagi Petrov, Oko memiliki kelemahan. Ia yang telah bertugas sejak 1970-an menyadari sistem peringatan dini yang digunakan masih “mentah”.

Beberapa hari setelahnya, Petrov menerima teguran resmi atas apa yang terjadi malam itu. Bukan untuk apa yang dia lakukan, tapi untuk kesalahan dalam buku catatan. Malam itu, Petrov tak mencatat apa yang terjadi ke dalam logbook. Ia pun diinvestigasi. “Karena aku menggenggam telepon di tangan yang satu, dan interkom di tangan yang lain. Aku tidak punya tangan ketiga,” jawabnya saat itu.

Ia ditekan. Para penyidik mencoba menjadikannya sebagai kambing hitam atas alarm palsu itu. Setelah dilacak, sistem Oko ternyata menangkap pantulan sinar matahari dari puncak awan sebagai peluncuran rudal. Program komputer seharusnya telah menyaring informasi semacam itu.

Petrov diam selama 10 tahun. “Saya pikir peristiwa itu memalukan bagi tentara Uni Soviet karena sistem kami gagal seperti ini,” katanya.

Setelah jatuhnya Uni Soviet, cerita Petrov masuk ke media. Ia menerima beberapa penghargaan internasional. Ia terbang ke AS pada 2006 untuk menerima World Citizen Award. Lalu pada 2013, Petrov dianugerahi penghargaan Dresden Peace Prize. Tahun berikutnya, kisah Petrov diangkat sebagai film drama-dokumenter berjudul The Man Who Saved the World.

Namun, ia tak pernah menganggap dirinya sebagai pahlawan. “Itu adalah pekerjaan saya,” ujarnya.

Stanislav Yevgrafovich Petrov lahir pada 7 September 1939. Ayahnya, Yevgraf, adalah seorang pilot pesawat tempur saat Perang Dunia II. Sementara ibunya berprofesi sebagai suster.

Pada 19 Mei 2017, Petrov wafat di usia 77 tahun dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Akan tetapi kematiannya yang dikarenakan hypostatic pneumonia itu baru diketahui publik empat bulan kemudian.

Pada akhir masa hidupnya, Petrov melihat dunia seakan menuju kehancuran karena nuklir bisa membunuh jutaan orang hanya dalam hitungan jam. Namun, bukan karena direncanakan, melainkan karena kecelakaan.

Dalam wawancaranya bersama TIME pada 2015, Petrov mengatakan bahwa benih kehancuran bukan soal besarnya kekuatan senjata nuklir, tetapi human error yang tak terelakkan atau kesalahan perhitungan. Terlebih di masa ketika para politisi banyak bicara soal ancaman perang, bukan soal perdamaian.

Baca juga: Konflik dan Perang Dunia dari Masa ke Masa

Related

Insight 2457166127588446435

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item