Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia (Bagian 1)

Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia

Naviri Magazine - Dunia perfilman Indonesia saat ini sedang bergairah. Setiap tahun, ada banyak film baru yang dirilis oleh banyak sutradara, dalam berbagai genre. Karenanya, penikmat dan penonton film Indonesia pun terus dimanjakan dengan film-film baru.

Meski harus diakui ada beberapa film Indonesia yang terkesan “asal-asalan”, namun kenyataannya banyak pula film Indonesia yang bagus, hingga juga diminati di luar negeri.

Menyaksikan perkembangan film Indonesia saat ini, kita tidak bisa melepaskan perjalanan panjang yang telah dilalui. Sejarah film di Indonesia memiliki lika-liku yang dimulai sejak sebelum kemerdekaan, yang lalu berkembang dan tumbuh, dan mati, dan bangkit lagi, dari dekade demi dekade, tahu demi tahun. Berikut ini uraiannya.

1900-1930 

Tahun 1900, mulai hadir pertunjukan film (bioskop) di Batavia, melalui peristiwa Pertoenjoekan Besar yang Pertama, di Manege, Tanah Abang, Kebonjae.

Lima tahun sebelumnya, Robert Paul dari Inggris dan Lumiere Bersaudara dari Prancis mendemonstrasikan proyektor temuannya, dan hal itu menandai dimulainya sejarah sinematografi atau seni gambar bergerak atau film.

Pada awal kehadiran film di Indonesia, hanya kaum Eropa yang bisa menyaksikan. Baru menjelang 1920-an, kaum pribumi punya kesempatan menonton film, setelah adanya kebijakan kelas penonton, yakni untuk kaum Eropa, untuk kaum Cina, dan untuk kaum Pribumi, serta Slam atau kaum Islam.

Pemisahan kelas itu menyangkut lokasi pertunjukan, pelayanan atau kualitas proyektor, dan harga tiket tanda masuk. Hingga tahun 1920-an, perfilman di Indonesia hanya milik kaum Eropa, berupa film-film impor dari Prancis dan Amerika, meliputi film dokumenter dan film cerita yang semuanya bisu.

Pembuatan film pun hanya dilakukan orang-orang Belanda atau orang Eropa lainnya, berupa film dokumentasi tentang alam dan kehidupan Indonesia, atas pesanan pemerintahan Hindia Belanda.

Yang disebut pembuat film waktu itu adalah orang yang mengoperasikan kamera dan pekerjaan teknis lainnya.

Di masa itu lahir film Onze Oost atau Timur Milik Kita, yang dibuat tahun 1919, dan dibiayai Kolonial Institute atau Lembaga Kolonial.

Tahun 1924, muncul polemik di koran-koran, mengenai perlunya Hindia Belanda membuat film sekaligus menjadi obyek pembuatan film, sebagai proyek film untuk kaum Bumiputera.

Tahun 1926, atas inisiatif L. Heuveeldorf dan Krugers, dengan dukungan Bupati Bandung, Wiranatakusumah V, dibuat film cerita berjudul Loetoeng Kasaroeng, mengangkat cerita legenda Jawa Barat, dengan seorang gadis pribumi sebagai pemain.

Pembuatan film cerita, yang dimulai di Bandung ketika itu, mengalami kesulitan yang amat berat. Sebab harus berhadapan dengan film-film impor yang telah lebih dulu menguasai pasar. Belum lagi proses pembuatan film asing yang dilakukan secara besar-besaran.

1930 - 1940

Tahun 1929, film bersuara pertama diputar, itu pun film produk Amerika. Baru dua tahun kemudian, pembuat film Indonesia mencoba membuat film bersuara. Hebatnya, semua peralatan untuk pembuatan film bersuara dibikin sendiri di Bandung. Meski kualitasnya belum terlalu bagus, namun mungkin Indonesia adalah negara pertama yang memulai pembuatan film bersuara di Asia.

Mulai tahun 1930, perfilman di Indonesia berkembang dalam lingkup industri. Pembuatan film mulai mempertimbangkan keuntungan finansial. Selain L. Heuveeldorf dan Krugers, ada F Carli, keturunan Italia kelahiran Bandung.

Muncul kemudian orang-orang Cina, yakni Wong Bersaudara, yang terdiri Nelson Wong, Joshua Wong, dan Othniel Wong. Orang Cina lainnya yang terjun ke film adalah The Teng Chun. Mereka bisa disebut orang Timur pertama yang membuat film di Indonesia.

Di masa-masa itu, mulai lahir film bersuara atau tidak bisu. Muncullah film “Nyai Dasima” (Jakarta 1931), film bersuara pertama. Disusul “Zuzter Theresia” (Bandung 1932). Dalam semangat industri pula, dua kekuatan non-pribumi, Krugers dan Wong Bersaudara, melakukan kerjasama produksi tahun 1937, melahirkan film Terang Boelan, dengan sutradara Albert Ballink.

Tercatat kemudian, film Terang Boelan menjadi tren film laris yang disukai masyarakat. Masa-masa inilah kaum pribumi mulai terlibat dalam politik perfilman. Seorang wartawan, bernama Saerun, menjadi penasihat di perusahaan Wong Bersaudara. Ia memunculkan gagasan, agar film-film yang diproduksi memanfaatkan seni tonil atau sandiwara, yang ketika itu mewarnai khasanah seni pertunjukan di Indonesia.

Maka kelompok tonil paling terkenal masa itu, pimpinan Andjar Asmara yang juga wartawan, diajak main film. Mulailah lahir artis-artis pribumi, antara lain Rukiah dan Raden Muchtar. Semakin banyak pula kaum pribumi menjadi pekerja film atau kru.

Tahun 1934, para pelaku industri film membentuk organisasi Gabungan Bioskop Hindia, atau Nederlandsch Indiche Bioscoopbond, menyusul adanya organisasi Gabungan Importir Film atau Bond van Film Importeurs. Pengurus dan anggota awalnya adalah orang-orang non-pribumi. Pemerintah Hindia Belanda tidak menghiraukan.

Namun, ketika dalam organisasi itu masuk orang-orang pribumi yang memunculkan wacana ‘nasionalisme’, pemerintah Hindia Belanda mencurigai sebagai wadah yang mengusung ideologi gerakan untuk merdeka. Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan pengawasan ketat kepada perkembangan perfilman.

Di masa itu, selain nama Saerun dan Andjar Asmara, mulai mencuat nama Usmar Ismail, sebagai aktivis perfilman. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membentuk Film Commissie, semacam Badan Sensor Film. Dasar hukumnya Film Ordonantie buatan pemerintah Belanda.

1940 - 1950 

Tahun 1940-an menjadi masa produktif film di Indonesia. Adanya sensor film tidak membuat kreativitas dan industri film surut, malah sebaliknya. Tahun 1940,  Indonesia memproduksi 13 judul, dan tahun 1941 menjadi 32 judul.

Masa itu bisa disebut masa keemasan pertama film Indonesia, meskipun film Indonesia sebenarnya belum lahir. Keemasan justru dicapai di masa ketegangan menjelang Perang Dunia II, saat Jepang menjajah ke mana-mana.

Bersamaan dengan panasnya gerakan politik nasionalisme, perfilman pun sarat nuansa politik. Pers dan kalangan terpelajar menuntut film berkualitas untuk perjuangan, sementara para seniman atau artis dituntut punya tanggung jawab melalui karyanya kepada rakyat. Para wartawan dan sineas menggagas perlunya Klub Kritisi, dengan anggota Wartawan Indonesia, Tionghoa, dan Belanda.

Baca lanjutannya: Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia (Bagian 2)

Related

Film 3658187608042631546

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item