Misteri Holocaust dan Konspirasi Rezim Zionis Yahudi (Bagian 2)

Misteri Holocaust dan Konspirasi Rezim Zionis Yahudi

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Misteri Holocaust dan Konspirasi Rezim Zionis Yahudi - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Hal yang menarik, melalui kekuatan lobinya di Barat, Zionis tidak mengizinkan siapa pun untuk menolak kisah tragedi Holocaust. Saat ini, di AS dan Eropa, siapa pun tidak boleh menolak tragedi Holocaust, dan akan ditindak jika menolaknya.

Ketika AS dan Eropa melakukan propaganda dengan gencar dalam kaitan Holocaust, seorang analis yang berasal dari Australia, Fredick Toban, menolak tragedi tersebut, dan mendapat ganjaran penjara enam bulan.

Fredick Toban mengatakan, “Di Eropa, setiap orang bisa menghujat Yesus dan Maria yang suci, namun tidak dapat mengkritik orang-orang Yahudi dan Holocaust. Sejumlah negara Eropa yang sudah cukup maju bersedia dalam perundangan-undangannya untuk mengatur para penolak Holocaust.”

Berdasarkan undang-undang di AS dan Eropa, siapa pun yang menolak Holocaust akan terhitung sebagai orang yang anti Yahudi, dan terkena hukuman. Perancis, yang disebut sebagai negara kebebasan, juga tidak terlepas dari belenggu kekuatan lobi Zionis, sehingga harus menerima undang-undang Fabius-Gayssot di tahun 1990.

Berdasarkan undang-undang tersebut, setiap orang yang menolak Holocaust dan meragukan kisah tentang terbantainya enam juta orang Yahudi di Eropa, akan dikenai hukuman penjara atau denda. Sikap itu tidak selaras dengan kebebasan berpendapat di negara-negara yang membela HAM dan kebebasan merupakan hal yang mengejutkan.

Pada saat yang sama, Barat merupakan negara-negara yang menghargai penelitian ilmiah dan logis, namun tetap akan menindak penentang Holocaust yang berargumentasi dengan bukti-bukti yang valid. Ancaman hukuman bagi para penentang Holocaust mengingatkan pengadilan-pengadilan di abad pertengahan, yang menindak terhadap para penentang keyakinan gereja.

Pada prinsipnya, larangan keras tersebut ditujukan kepada para penentang, baik menolak maupun meragukan tergedi tersebut. Oleh karena itu, di antara dalih mempertanyakan dan meragukan Holocaust adalah adanya larangan yang kuat untuk menelaah lebih lanjut tragedi tersebut.

Jika tragedi pambantaian enam juta warga Yahudi adalah sebuah realitas, tidak semestinya Zionis dan Barat khawatir dengan penelitian lebih lanjut atas tragedi Halocaust. Tentu saja, kekhawatiran mereka membuktikan lemahnya argumentasi dan bukti atas tragedi Holocaust.

Robert Forison menyatakan, “Sampai saat ini, mereka tidak dapat menjawab argumentasi penolakan kita atas kebenaran tragedi Holocaust, melainkan menyerang kita dengan menyeret kita ke pengadilan, menindak dan menyiksa.”

Oleh karena itu, para analis dan pemikir di Barat yang mengkritik Holocaust, sehingga menerima berbagai ancaman dan tekanan, yang setidaknya dihukum berdasarkan konstitusi miring mengenai Holocaust, menyandang sifat kesatria. Profesor Forison adalah wujud nyata yang berani bersikap kesatria untuk mempertanyakan tragedi Holocaust.

Forison, yang berkewarganegaraan Inggris dan Perancis, adalah seorang sejarawan yang melakukan penelitian tentang Holocaust selama bertahun-tahun, bahkan berhasil mendapatkan sejumlah data terlarang milik Zionis. Namun, ketika ia mempertanyakan Holocaust dan menolak keberadaan ruangan gas yang ditulis dalam bukunya, menyebabkan kemarahan Zionis dan Perancis.

Profesor Forison diberhentikan dari aktivitas mengajar di Universitas Lion di tahun 1978, dan diadili karena wawancaranya dengan Televisi Sahar milik Republik Islam Iran, dalam kaitannya dengan Holocaust. Forrison, dalam wawancara tersebut, menyatakan, “Kami, para penentang Holocaust, tidak diberi hak untuk mencetak dan menyebarkan artikel dan buku. Mereka membakar buku-buku kami, dan melarang penerbitannya di luar negeri.”

Profesor Roger Garaudy adalah sosok lain yang menolak kisah Holocaust, sehingga diseret ke pengadilan. Karya besar Garaudy, yang berjudul “Mitos-mitos Pembangun Politik Israel”, juga menghadapi penentangan keras dari kaun Zionis, karena buku tersebut mengungkap kebohongan tragedi Holocaust.

Pada akhirnya, Garaudy dijatuhi hukuman karena sikapnya menentang undang-undang Fabius-Gayssot. Lagi, kebebasan dan HAM menjadi korban kepentingan Zionis di Eropa.

Ernest Zundel, seorang peneliti asal Jerman, masuk dalam daftar para penentang tragedi Holocaust. Sebelum hijrah ke AS, dia bermukim di Kanada. Akibat tekanan dan intimidasi kaum Zionis di Kanada, Zundel terpaksa meninggalkan negara itu.

Di AS, kaum Zionis tetap mengejar Zundel, sehingga akhirnya dia ditangkap dan diekstradisi ke Jerman untuk diadili karena keyakinannya yang menentang mitos Holocaust.

Tak cuma kalangan peneliti sejarah yang kebebasan pendapatnya terbelenggu. Para anggota parlemen di Eropa juga tak berhak untuk menyuarakan pendapatnya yang menentang kisah pembunuhan massal warga Yahudi pada Perang Dunia II.

Bruno Gollnisch, anggota parlemen Eropa asal Prancis, termasuk di antara mereka yang menentang kisah Holocaust. Katanya, “Seluruh kisah Holocaust adalah khayalan otak kotor kaum Zionis.” Akibat pernyataannya itu, Gollnisch kehilangan kekebalan diplomatiknya, sehingga memungkinkannya untuk diseret ke pengadilan.

Korban lain dari mitos Holocaust adalah David Irving. Ketenarannya sebagai sejarawan besar Inggris tidak mampu menyelamatkannya dari penganiayaan yang dialaminya di Inggris dan negara-negara lain. Ketika berkunjung ke Austria beberapa waktu lalu, Irving dijerat dengan pasal tahun 1989 tentang Holocaust.

Irving hanyalah satu dari sederet ilmuwan dan cendekiawan yang mengalami nasib buruk dan menyedihkan, karena menentang mitos pembunuhan massal kaum Yahudi pada masa Perang Dunia II.

Germar Rudolf, kimiawan Jerman, Doktor Frederick Toben, asal Australia, Louis Marshalko, asal Hungaria, penulis buku the World Conquerers, Norman G. Finkelstein, dosen universitas DePaul Chicago, penulis the Holocaust Industry, adalah contoh dari puluhan ilmuwan dan cendekiawan tersebut.

Mitos Holocaust dimanfaatkan oleh kaum Zionis untuk mengejar kepentingannya di dunia, yang di antaranya untuk membentuk rezim ilegal di tanah Palestina tahun 1948. Tanpa mengumbar isu pembantaian massal Yahudi pada masa Perang Dunia II, kaum Zionis tak akan mudah memaksa masyarakat dunia termasuk PBB untuk menerima kehadiran sebuah negara ilegal bernama Israel di negeri Palestina.

Frederick Toben dalam hal ini mengatakan, “Negara Israel dibentuk atas dasar kisah Holocaust. Karena Holocaust adalah kisah bohong, berarti Israel dibangun di atas kebohongan besar.”

Kelestarian Israel sangat bergantung pada keyakinan masyarakat Barat akan kebenaran kisah pembunuhan 6 juta warga Yahudi di Eropa oleh Hitler. Berkat kisah ini pula, Israel berhasil meraup ganti rugi yang tidak sedikit dari negara-negara Eropa, terutama Jerman.

Singkatnya, Holocaust adalah kisah dusta besar yang diciptakan oleh orang-orang Zionis. Segencar apa pun kaum Zionis mempropagandakan kisah ini untuk menunjukkan ketertindasannya di dunia, suatu hari kebohongan ini akan terungkap.

Masyarakat dunia saat ini mulai sadar bahwa Holocaust yang sebenarnya bukan terjadi di Eropa pada masa Perang Dunia II dengan korban warga Yahudi, tetapi Holocaust sedang terjadi saat ini. Tempatnya adalah Palestina, dan korbannya adalah bangsa Palestina. Pelakunya bukan Hitler, tetapi kaum Zionis.


Related

Mistery 4079953600276020635

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item