Kontroversi Pemanasan Global, Antara Fakta Ilmiah dan Hoax

Kontroversi Pemanasan Global, Antara Fakta Ilmiah dan Hoax

Naviri Magazine - Beberapa pekan yang lalu, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah sepakat untuk mengurangi emisi gas CO2 dengan target yang cukup ambisius, yaitu pengurangan emisi sebesar 20% hingga 2020. Bahkan Inggris berencana untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 60% hingga 2050.

Isu pemanasan global memang sedang hangat dibahas di Eropa, apalagi dengan adanya fenomena musim dingin yang hangat di tahun 2006-2007, dan semakin banyaknya fenomena “penyimpangan” cuaca seperti badai dan angin ribut yang secara ekonomi sangat merugikan. Juga dengan semakin banyaknya data yang menunjukkan penambahan laju mencairnya es di kutub utara.

Semua itu, menurut sebagian pakar, terjadi karena meningkatnya kandungan gas rumah kaca dari hasil kegiatan manusia (antropogenik). Maka dari itu wajar saja kalau apa yang dibicarakan oleh para pemimpin dunia saat ini adalah menurunkan emisi gas rumah kaca tersebut.

Tahun 2006 ditetapkan oleh WMO sebagai tahun terpanas ke-6, dimana temperatur permukaan rata-rata global tahun 2006 lebih hangat 0.42°C dari rata-rata tahunan pada periode 1961-1990. Bahkan menurut NOAA, tahun 2006 tercatat sebagai tahun terpanas di Amerika, dimana berdasarkan data rata-ratanya, tahun 2006 1,2°C lebih hangat dari rata-rata temperatur di abad ke-20 dan 0,04°C, lebih panas daripada tahun 1998.

Bahkan menurut laporan WMO, jika rata-rata suhu permukaan dipisahkan antara Bumi belahan utara (BBU) dan selatan (BBS), maka kenaikan suhu permukaan di BBU jauh lebih tinggi daripada BBS.

Di BBU, temperatur permukaan rata-rata 0,58°C di atas rata-rata 30 tahun yang besarnya 14,6°C (terpanas ke-4 sejak tahun 1861). Sementara di BBS 0,26°C di atas rata-rata 30 tahun yang besarnya 13,4°C (terpanas ke-7 sejak tahun 1861).

Sejauh ini, sebenarnya masih terjadi pro dan kontra tentang pemanasan global (dan juga penyebab utamanya). Karena, selain mereka yang marak menyuarakan terjadinya pemanasan global dengan (salah satu) indikator naiknya suhu permukaan Bumi, ada juga sebagian ahli yang masih menyangsikan data naiknya suhu permukaan yang dikemukakan oleh mereka yang pro tersebut.

Selain itu, faktor utama penyebab pemanasan global pun masih jadi perdebatan dan diskusi yang hangat hingga kini.

Salah satu dari para ahli yang masih menyangsikan adanya pemanasan global adalah Prof. Bjarne Andresen dari Universitas Kopenhagen. Dia menganggap bahwa isu pemanasan global lebih kental unsur politisnya daripada ilmiahnya. Hal ini ia kemukakan tentu bukan tanpa argumentasi yang jelas.

Dia bekerjasama dengan Prof. Christopher Essex dari Universitas Ontario Barat dan Prof. Ross McKitrick dari Universitas Guelph. Keduanya di Ontario, Kanada, telah mencoba menganalisis topik pemanasan global dan telah mereka publikasikan dalam Jurnal Non-Equilibrium Thermodynamics.

Pernyataan tentang terjadinya pemanasan global yang diberikan oleh para pakar yang pro, didasarkan pada asumsi umum; atmosfer Bumi dan lautan menjadi hangat dalam 50 tahun terakhir yang terjadi akibat kecenderungan (tren) naiknya suhu global yang merupakan hasil dari perhitungan rata-rata suhu udara yang diukur di seluruh dunia.

Menurut Prof. Andresen, yang pakar termodnamika, tidak mungkin berbicara tentang suhu sendirian pada sesuatu yang rumit seperti iklim di Bumi. Suhu hanya bisa ditentukan pada sebuah sistem yang homogen. Lebih dari itu, iklim tidak dibentuk oleh suhu sendirian.

Perbedaan suhu akan menyebabkan terjadinya sebuah proses dan menghasilkan badai, arus laut, dan lain-lain, yang membentuk iklim. Menurutnya, metode yang sekarang digunakan untuk menentukan suhu global dan kesimpulan yang diambil dari metode tersebut lebih bersifat politis daripada ilmiah.

Selain ketiga profesor tersebut, masih ada pakar lain yang punya pendapat menarik, terutama berkaitan dengan faktor penyebab utama perubahan iklim (climate change) di Bumi ini. Lagi-lagi, pakar yang punya pendapat menarik berasal dari Denmark, yaitu Henrik Svensmark dan Eigil Friis-Christensen.

Menurut mereka, faktor utama yang kemungkinan besar menjadi penyebab utama dari perubahan iklim di Bumi adalah sinar kosmik, dan bukan gas rumah kaca.

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, mereka berhipotesa bahwa sinar kosmik dari angkasa mempengaruhi iklim di Bumi dengan cara mempengaruhi pembentukan awan di atmosfer bagian bawah. Hipotesa ini didasarkan pada adanya korelasi yang kuat antara tingkat radiasi kosmik dan penutupan awan, dimana semakin besar radiasi kosmik semakin besar pula penutupan awan. Awan mendinginkan iklim di Bumi, karena ia memantulkan kembali sekitar 20% radiasi matahari ke angkasa.

Menurut mereka, selama abad ke-20 pemasukan (influx) cahaya kosmik berkurang akibat berlipat gandanya medan magnetik matahari yang memperisai (menghalangi) Bumi dari sinar kosmik. Berdasarkan hipotesa di atas, sedikitnya radiasi kosmik berarti sedikit pula terjadinya pembentukan awan di atmosfer Bumi. Akibatnya, suhu di Bumi menjadi hangat, seperti yang terjadi sekarang.

Related

Science 7423046639799185872

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item