Di Masa Lalu, Orang Amerika Pernah Ketakutan Pada Popcorn

Di Masa Lalu, Orang Amerika Pernah Ketakutan Pada Popcorn

Naviri Magazine - Sekitar seperempat abad yang lalu, orang-orang Amerika ketakutan pada popcorn. Pasalnya, popcorn didemonisasi sebagai makanan pencabut nyawa oleh Center for Science in the Public Interest (CSPI), yang mempresentasikan hasil penyelidikannya terkait kandungan gizi popcorn dalam sidang dengar pendapat Kongres AS, dan mempublikasikanya sendiri di dalam jurnal Nutrition Action Healthletter.

Agar bisa tahu kandungan gizi popcorn, CSPI membeli popcorn di 12 bioskop milik enam perusahaan bioskop di tiga kota di AS. Sampel popcorn itu kemudian dikirim ke laboratorium dan dibandingkan kandungan lemaknya; minyak canola, minyak kalapa, serta lemak dalam jagung mentega yang dibuat dengan minyak kelapa.

Biang masalahnya, menurut CSPI, adalah minyak kelapa (meski sekarang malah disanjung-sanjung sebagai superfood) yang memiliki kandungan lemak jenuh yang kelewat tinggi.

Hanya berselang beberapa saja dari pelaksanaan dengar pendapat dengan Kongres AS, Jayne Hurley, pakar gizi yang bekerja untuk CSPI, tanpa tedeng aling-aling mewanti-wanti penikmat film dan kritikus film legendaris, Roger Ebert, bahwa sekantong besar popcorn punya kandungan lemak yang setara dengan “enam buah Big Mac.”

Artinya, dengan makan sekantung popcorn, kita sudah melampaui kebutuhan lemak jenuh selama tiga hari.

Tentu saja, temuan ini memicu kegemparan dan kebencian akan penganan enak ini, tapi mungkin ini yang dikehendaki oleh CSPI. Bahkan, surat kabar sekelas New York Times pun ketakutan, dan menurunkan sebuah berita yang dimulai dengan sebuah kalimat: “Yang paling menakutkan saat nonton film di biokop bukanlah Freddy Kruegger. Yang bikin merinding bukan juga Mickey Rourke yang memainkan peran-peran dramatis. Yang bikin takut justru popcorn.”

Surat kabar lain, Los Angeles Time, menurutkan artikel bertajuk “Nightmare at the Multiplex,” tulisan sepanjang 555 kata yang mengutuk minyak kelapa dan kemampuan Elle MacPherson yang busuk.

Popcorn Institute, organisasi dagang yang bertanggung jawab atas stok popcorn di AS, merespons laporan CSPI dengan enteng. “Kami pikir orang-orang lari keluar dari bioskop karena popcorn dijual di dalamnya,” ujar juru bicara Popcrorn Institute, Dierdre T. Flynn, kepada Times. "Kalau kalian makan popcorn sesekali sebagai cemilan, popcorn tak akan membunuh kalian.”

Namun, tetap saja, para penonton film keburu ciut nyalinya. Tahun itu, mereka masih enggan berbagai popcorn, saat menonton film. Alhasil, jumlah penjualan popcorn melorot sebanyak 50 persen dalam 12 bulan, sebelum akhirnya kembali ke angka penjualan sebelum laporan CSPI diturunkan, begitu penonton lupa perbandingan popcorn dengan enam buah Big Mac.

“Daya kejut laporan CSPI cuma sebentar. Setelah satu tahun, jumlah penjualan popcorn sudah kembali seperti semula,” tulis Tulsa World pada 2001, dalam peringatan 30 tahun CSPI.

“Baru-baru ini, satu perusahaan besar bioskop meninggalkan minyak safflower dan kembali menggunakan minyak kelapa untuk membuat popcorn. Alasannya? Sama seperti kenapa restoran makanan Meksiko masih menggunakan lemak babi sampai sekarang: karena bikin rasanya lebih enak.”

Kemenangan CSPI atas konsesi AMC cuma berlangsung singkat. Malah, beberapa pengamat menyalahkan tindakan CSPI tersebut. Organisasi ini memang kerap iseng mengobrak-abrik pilihan kuliner warga AS.

Sebelum mereka mengkampanyekan betapa bahayanya popcorn, CSPI pernah berusaha menjauhkan warga AS yang sangat awas dengan kesehatan tubuh mereka dari restoran makanan Italia dan Meksiko.

Roger Ebert bahkan mencatat CSPI pernah menyebut Fettucine Alfredo sebagai “serangan jantung di atas piring.”

Pada 2009 silam, CSPI kembali berulah dan berusaha kembali mendemonisasi kandungan lemak dalam popcorn. Bedanya, kali ini, pengunjung bioskop menganggap temuan CSPI sebagai angin lalu belaka.

“Kudapan paling sehat yang bisa dibeli di bioskop bukanlah kudapan sama sekali,” jelas Jane Hurley, yang masih konyol seperti 15 tahun lalu.

Center for Consumer Freedom mencatat bahwa, berselang dua dekade sejak CSPI menyerang kandungan lemak popcorn, pandangan para ahli gizi terhadap lemak jenuh sudah jauh bergeser. Yang dianggap berbahaya saat ini bukan lagi lemak jenuh, melainkan lemak trans dan hidrogenasi parsial. Lagi pula, siapa pun yang pernah membaca artikel kesehatan tahu kalau minyak kelapa adalah minyak kesayangan semua orang.

“Sebagian besar penelitian tentang minyak kelapa dilakukan dengan minyak kelapa yang dihidrogenasi secara parsial. Ini dilakukan karena para peneliti perlu meningkatkan kadar kolesterol dalam kelinci percobaan, agar mereka bisa mengumpulkan beberapa data tertentu,” terang Dr. Thomas Brenna, pada New York Times.

“Virgin coconut oil, yang belum kena proses kimia apa pun, harus dipandang secara berbeda dari sudut pandang risiko kesehatan. Lagi pula, minyak kelapa mungkin tak jelek-jelek amat bagi tubuh kita.”

Related

World's Fact 1850829801034086567

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item