Organisasi Pers Tolak Omnibus Law: Jangan Kembali ke Orde Baru!

 Organisasi Pers Tolak Omnibus Law: Jangan Kembali ke Orde Baru!, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Dewan Pers bersama organisasi pers, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang terdiri dari AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers, menyatakan menolak dua pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dua pasal itu dianggap akan membahayakan independensi pers dengan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.

"Sekali lagi ini bukan persoalan eksklusif, kita hanya bicara omnibus law hanya kaitan dengan pers. Tapi sekali lagi ya, inilah yang memang menjadi persoalan terkait dengan apa yang dibahas," kata Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, M. Agung Dharmajaya, Selasa 18 Februari 2020.

Adapun dua pasal yang dikecam tersebut adalah Pasal 11 yang menyatakan: Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

"Kami juga tidak terlalu melihat urgensinya. Karena pasal yang awal kan penambahan modal asing dilakukan pasar modal, selama ini dilakukan. Pemerintah mengubah jadi ada tanda tanya sendiri, karena pemerintah memasukkan klausul pemerintah pusat," ujar Ketua Umum AJI, Abdul Manan.

Sedangkan pasal 18 ayat (1) menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.

"Ini juga diperparah pemerintah naikkan sanksi denda dari Rp500 juta jadi Rp2 miliar. Kami mempertanyakan apa urgensinya. Karena sanksi denda itu instrumen penghukuman. Kita mendorong kalau ada sengketa pers tindak pidana. Kalau mau perdata. Itu pun mendorong memberikan sanksi denda yang proporsional, bukan yang semangatnya membangkrutkan," papar Manan.

Selain itu, Ketua dewan pertimbangan IJTI, Imam Wahyudi, mengingatkan undang- undang pers yang ada saat ini merupakan buah dari reformasi, dan dibuat dalam banyak tekanan sisa orde baru.

"Jangan sampai pemerintah sekarang yang lahir dari rahim reformasi kemudian memutar balik sejarah itu. Sehingga kita masuk lagi rezim pers otoriter. Jangan. Masyarakat jangan biarkan itu, dan kami tidak akan biarkan.

“Kami akan melawan seandainya itu terjadi. Tapi kami percaya yang terjadi adalah keteledoran atau khilaf sehingga kalimat itu masuk di sana, mudah-mudahan nanti pembahasan di DPR tidak muncul lagi," kata Wahyudi.

Related

News 137506732043746208

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item