Kisah Para Detektif Melacak Kasus Virus Corona di Singapura (Bagian 3)

Kisah Para Detektif Melacak Kasus Virus Corona di Singapura, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Para Detektif Melacak Kasus Virus Corona di Singapura - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Menurut Undang-Undang Penyakit Menular Singapura, menolak untuk bekerja sama dengan polisi dalam upaya mereka mengumpulkan informasi merupakan sebuah tindakan ilegal. Hukumannya adalah denda S$10,000, atau sekitar Rp 110.3 juta, maupun penjara selama enam bulan - atau keduanya.

Dua warga negara China telah didakwa atas tindakan tersebut, karena memberikan informasi yang tidak benar kepada polisi tentang keberadaan mereka selama pelacakan kontak. Conceicao mengatakan, dalam hampir semua kasus, orang-orang sangat akomodatif.

"Mengerahkan polisi untuk melacak kontak dengan cara investigasi seperti di Singapura ini cukup unik," kata Chong Ja Ian, seorang profesor di Universitas Nasional Singapura.

"Tetapi di Singapura, ini merupakan sesuatu yang umum dan dikenal orang. Warga Singapura tumbuh dan hidup dengan masyarakat yang sangat terpantau, sehingga menjadi sesuatu yang normal bagi mereka. Wewenang yang dimiliki negara tidak banyak dipertanyakan, itu diterima begitu saja. Orang-orang telah belajar untuk hidup dengan ini."

Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan, telah mengalami berbagai tingkat keberhasilan selama satu minggu terakhir, dimana masing-masing menggunakan berbagai strategi mulai dari big data (data umum), menjaga jarak sosial, dan tes massal untuk menurunkan jumlah kasus.

Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya dengan populasi besar, layanan kesehatan dan sistem deteksi yang buruk, seperti Indonesia, menemukan orang yang terinfeksi jadi seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Mereka tidak tahu dari mana datangnya kasus selanjutnya.

"Masyarakat yang memiliki elit teknokratis yang kuat dapat melakukan perencanaan jangka panjang, dan tingkat kepercayaan yang relatif tinggi pada para ahli dan pemerintah merespons lebih baik terhadap wabah virus," kata James Crabtree, seorang profesor praktik di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Universitas Nasional Singapura.

"Karena itu, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan, tampaknya mengatasi lebih baik daripada Italia dan AS."

Kapan harus menyerah?

Pada tanggal 5 Maret, Singapura mengumumkan klaster terbaru - dan klaster terbesar - sejauh ini. Makan malam Tahun Baru Imlek di sebuah klub komunitas pada tanggal 15 Februari menjadi tuan rumah bagi ratusan orang - yang sejauh ini telah menghasilkan 47 orang yang terinfeksi.

Mereka pun telah menginfeksi orang lain di komunitas sekitarnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pelacakan kontak dengan cepat menjadi tidak relevan, dan bahwa langkah-langkah lain yang lebih ketat perlu ditegakkan, seperti penutupan sekolah dan lockdown.

Singapura juga melihat peningkatan eksponensial dalam jumlah kasus baru per hari - kebanyakan dari mereka diimpor. Pada 18 Maret, misalnya, diumumkan 47 kasus baru - 33 diimpor, sebagian besar warga Singapura yang telah pulang.

Singapura telah memberlakukan pembatasan pada pelancong yang memasuki negara itu sebagai hasilnya.

Pemerintah mengatakan, masih ada faedah dalam pelacakan kontak, karena data yang dikumpulkan dari pelacakan kontak membantu pembuat kebijakan memutuskan strategi yang akan diluncurkan pada fase epidemi yang berbeda, kata Dr Said.

"Sampai kita mencapai tahap di mana angkanya sangat tinggi, sehingga melampaui kemampuan kita untuk menahan sumber-sumber untuk mencoba dan membatasi penyebaran wabah ketika mereka muncul, itu mungkin merupakan saat ketika kita harus berpikir untuk mengubah strategi kita," kata Kenneth Mak, wakil direktur layanan medis Singapura.

"Tapi kita tidak melihat itu sebagai sesuatu yang perlu kita pertimbangkan dengan sangat serius pada saat ini."

Hampir dua bulan sejak wabah merebak, tidak ada kematian yang tercatat di Singapura. Singapura mengatakan, itu berkat layanan kesehatan yang ada dan pelacakan kontak yang dilakukan.

Ini memberi waktu sehingga dokter dapat merawat orang-orang di rumah sakit yang benar-benar membutuhkan perawatan, sehingga pelayanan kesehatan tidak kawalahan, seperti yang terjadi di Wuhan.

Kenyataannya adalah bahwa Singapura harus menghentikan pelacakan kontak jika jumlah kasus terus meningkat. Biayanya mahal, membutuhkan banyak tenaga kerja dan pada suatu saat, virus pun akan menginfeksi para pelacak kontak.

Tetapi sampai saat itu tiba, sekarang mereka berpacu melawan pelaku yang tidak terlihat. Para pelacak tahu hanya perlu beberapa kasus yang tidak bisa dilacak, sebelum virus akan melonjak.

Baca laporan lengkap » Data, Fakta, dan Perkembangan Wabah Corona.

Related

News 3409461616634824130

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item