Konspirasi Donald Trump Terkait Pemanasan Global Akhirnya Terungkap

Konspirasi Donald Trump Terkait Pemanasan Global Akhirnya Terungkap, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Tahun 2019 kemarin wilayah Indonesia melewati kemarau yang lebih panjang dibanding periode sebelumnya. Kemudian kekeringan itu ditutup dengan datangnya musim hujan yang sedikit telat, ditambah banjir di sejumlah wilayah. Banyak orang baru merasakan dampak nyata perubahan lingkungan.

Sejumlah wilayah yang tak pernah kekeringan tiba-tiba saja sulit menemukan sumber air saat kemarau. Para warga di wilayah tersebut harus membeli air dari depot-depot isi ulang, dan menghemat pemakaian air harian. Kondisi tersebut rata-rata berlangsung 2-3 bulan lamanya.

Kemarau panjang dihapus hujan dengan intensitas rendah di awal November. Sampai di sana, kekeringan belum tuntas semua, hingga Desember akhir, tepat malam pergantian tahun, hujan deras mengguyur Indonesia. Paginya, sejumlah warga—yang sebagian tak pernah terdampak banjir—melaporkan huniannya sudah tergenang air.

Di tengah narasi soal perubahan lingkungan yang kembali digaungkan, muncul pula opini-opini penangkalnya. Di tingkat global, kelompok-kelompok konservatif menolak mempercayai konsep perubahan iklim. Alih-alih membenahi alam, mereka mencari kambing hitam atas dampak perubahan iklim dan lingkungan yang kini kita rasakan.

Di Indonesia, kita bisa mendengar suara mereka lewat pandangan yang mengaitkan banjir dengan azab maksiat di tahun baru. Bahkan sekolompok warga di Bekasi menyegel toko minuman beralkohol, karena meyakini toko tersebut sebagai salah satu pemicu banjir awal tahun kemarin.

Tak perlu kaget melihat fakta tersebut, sebab menurut survei tahunan YouGov-Cambridge Globalism Project 2019, Indonesia dinobatkan menjadi negara dengan penduduk paling meragukan perubahan iklim (18 persen). Statistik ini diperoleh melalui survei lebih dari 25 ribu orang dari 23 negara di seluruh Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia, pada bulan Februari dan Maret 2019.

Masyarakat Indonesia banyak yang tak percaya bahwa manusia membawa pola perubahan terhadap lingkungan. Begitu pula dengan masyarakat Arab Saudi (16 persen), dan Amerika Serikat di urutan ketiga (13 persen). Negara terakhir terkenal sebagai sarangnya ilmuwan yang tidak percaya bahwa perubahan iklim benar-benar terjadi.

Bahkan Presiden Donald Trump pernah bilang bahwa perubahan iklim adalah “hoaks” belaka. Ia menampik laporan perubahan lingkungan yang dikeluarkan oleh negaranya sendiri, dan menuduh narasi tersebut berbau politis.

Orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah, memiliki umur lebih tua, dan lebih religius, cenderung jadi kelompok yang mengabaikan perubahan lingkungan. Mereka kurang bisa menerima fakta perubahan lingkungan karena tidak memiliki informasi memadai. Tapi The Conversation menyebut bahwa penolakan terhadap isu perubahan iklim di kalangan konservatif didorong oleh faktor politis.

Bagi sejumlah konglomerat, fakta-fakta perubahan iklim dianggap sebagai ancaman bagi bisnis mereka. Jika kampanye perubahan lingkungan berhasil dan dunia bersama-sama menuju ekonomi rendah emisi, maka transisi tersebut akan mengganggu agenda politik dan bisnis orang-orang kaya ini.

Seorang jurnalis Amerika, bernama Christopher Leonard, berhasil membuka persekutuan jahat Trump dan Charles dan David Koch (Koch bersaudara) dalam isu perubahan lingkungan. Investigasinya dimuat dalam buku bertajuk Kochland: The Secret History of Koch Industries and Corporate Power in America (2019).

Koch bersaudara (dan Koch Industries) adalah salah satu perusahaan swasta terbesar di Amerika. Koch bersaudara selama ini jor-joran membiayai beragam aktivisme yang menyangkal perubahan lingkungan. Bisnis Koch bersaudara memang bergerak di industri bahan bakar fosil, yang menjadi salah satu sumber polusi karbon terbesar.

“Koch mendanai konferensi yang dihadiri ilmuwan, kelompok advokasi nirlaba, dan akademis yang mereka sebut ‘echo chamber’,” tulis Leonard.

Konferensi tandingan bertajuk “Global Environmental Crisis: Science or Politics?” digagas Koch pada tahun 1991. Kelompok pendukung industri bahan bakar fosil dalam konferensi tersebut bereaksi setelah Presiden George H. W. Bush mengumumkan dukungan atas perjanjian pembatasan emisi karbon—sebuah kebijakan yang berpotensi mengancam bisnis Koch Industries.

Menurut laporan Leonard, think tank asal Washington Third Way bekerja untuk Koch dalam upaya negosiasi North American Free Trade Agreement. Tujuannya agar bisnis impor minyak dari Kanada milik Koch tidak terganggu. Terakhir, Leonard menguak persekutuan jahat antara Koch bersaudara, Trump, dan Wakil Presiden Mike Pence.

Related

World's Fact 228164553137326350

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item