Mungkinkah Indonesia Bisa Pulih dari Resesi Ekonomi Secepat China?

Mungkinkah Indonesia Bisa Pulih dari Resesi Ekonomi Secepat China? naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut bahwa Indonesia diproyeksikan masuk ke kelompok dengan pemulihan ekonomi tercepat di dunia, setelah China pada 2021 mendatang.

"Indonesia diproyeksikan masuk ke kelompok dengan pemulihan ekonomi tercepat setelah China. Kalau proyeksi benar, saya kira patut kita syukuri," katanya.

Jokowi mengatakan bahwa prediksi tersebut berdasarkan proyeksi berbagai lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (Internasional Monetary Fund/IMF), dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD).

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal pesimis pemulihan ekonomi RI dapat menjadi yang terbaik kedua dunia dengan cara penanganan covid-19 saat ini.

Pasalnya, Indonesia dinilainya tak memenuhi syarat untuk dapat dinyatakan memiliki penanganan wabah pandemi covid-19 baik. Menurutnya, Indonesia harus mampu mengikuti jejak China bersikap tegas dan sigap menerapkan lockdown demi meredam penyebaran wabah virus corona.

Sehingga ekonomi pun dapat pulih dalam waktu singkat.

Faisal menyebut China berhasil bangkit (rebound) di kuartal II 2020 dan lolos dan resesi karena mampu mengendalikan penyebaran wabah covid-19. Diketahui ekonomi China tumbuh sebesar 3,2 persen pada kuartal II 2020 setelah mengalami kontraksi 6,8 persen di kuartal sebelumnya.

"Kuncinya karena berhasil mengambil langkah cepat, tepat dan tegas dalam meredam penyebaran wabah covid, sehingga hanya dalam 3 bulan sudah reda," katanya.

Ia menyebut jika pemerintah bersikap tegas, sebetulnya penyebaran wabah dapat dikendalikan dalam 3 bulan. Dengan meredanya angka penyebaran, ia bilang ekonomi pun dapat pulih dengan lebih mudah.

Apalagi, dengan ditopang pasar dalam negeri yang besar. Sepaham, Ekonom Indef Eko Listyanto menuturkan pemerintahan Presiden Jokowi hanya dapat mengikuti jejak sukses China jika mampu menekan angka penyebaran.

Sementara, jumlah infeksi harian malah menanjak dan telah menembus 100 ribu orang.

"China itu bisa mengendalikan pandemi corona di negaranya. Sehingga, aktivitas ekonomi dan konsumsi masyarakat bisa meningkat. Bahkan China menjadi negara yang prospeknya positif sendiri di dunia," terang Eko.

Ia mengaku sulit mengamini optimisme Presiden Jokowi ketika fakta di lapangan berkata lain. Aktivitas ekonomi masih tersendat meski Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah memasuki tahap transisi ke tatanan hidup baru (new normal).

Masyarakat juga dinilainya masih khawatir melakukan konsumsi di luar rumah, termasuk pergi ke mall hingga pelesiran ke destinasi wisata nasional. Permintaan yang belum tinggi ini juga dipengaruhi oleh sifat berhemat karena ada ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan seretnya mendapatkan penghasilan ke depan.

Permintaan yang masih minim tentu akan mempengaruhi produksi dunia usaha dan industri. Para pengusaha pun masih cukup khawatir untuk mempekerjakan kembali pegawainya ke kantor dan pabrik.

Ketika penawaran (supply) dan permintaan (demand) masih rendah, maka geliat ekonomi dipastikan belum bisa pulih.

Hal ini yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak bisa pulih cepat. Apalagi, geliat ekonomi masyarakat domestik menopang lebih dari 50 persen ekonomi nasional.

"Cepat atau lambatnya pemulihan ekonomi sangat bergantung pada daya beli masyarakat, apakah bisa mendorong konsumsi lagi atau tidak?" ujar Eko.

Oleh karena itu, mutlak bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan pandemi corona agar daya beli dan geliat ekonomi masyarakat tumbuh lagi secara alamiah. Bila ingin memberi 'suplemen', maka gunakanlah belanja pemerintah, khususnya bantuan sosial (bansos).

Persoalannya, belanja pemerintah pun lambat. Menurut data terakhir yang diumumkan Jokowi, realisasi dana penanganan dampak corona baru mencapai Rp136 triliun atau 19 persen dari total pagu Rp695 triliun per 23 Juli 2020.

Realisasi terdiri dari anggaran perlindungan sosial yang baru mencapai 38 persen dari pagu, stimulus dan insentif UMKM 25 persen, insentif korporasi 13 persen, kesehatan 7 persen, dan dukungan untuk daerah 6,5 persen.

"Saya percaya juga ada peluang kita bisa cepat pulih, tapi syaratnya pandemi terkendali, daya beli terangkat, konsumsi rumah tangga naik, dan juga belanja pemerintah cepat. Tapi realisasi 19 persen ini masih jauh dari harapan," katanya.

Related

News 172226689892812279

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item