Georg Eberhard Rumpf, Ilmuwan Buta dari Ambon yang Legendaris (Bagian 1)


Naviri Magazine - Ketika membicarakan nyali, umumnya orang akan merujuk kisah-kisah yang melibatkan luka, darah, erangan, dan sakaratul maut: peperangan, perburuan di alam liar, olahraga brutal, dan seterusnya. 

Apakah nyali hanya terdapat dalam urusan-urusan itu? Tentu tidak. Orang dapat pula merujuk Sokrates atau Giordano Bruno yang bersetia sampai mati terhadap ilmu pengetahuan dan tanggung jawab keilmuan mereka.

Namun, yang jarang orang bicarakan, nyali ada bukan hanya dalam pertarungan manusia melawan manusia, alam, atau para penguasa. Ia juga ada dan dibutuhkan dalam pertarungan manusia melawan hidupnya sendiri, untuk bertahan dari hari ke hari dan menuntaskan kerja.

Contoh kisah tentang nyali jenis ini adalah kisah Job atau Nabi Ayub dalam kitab-kitab suci agama-agama Abrahami. Kisah lainnya, yang lebih dekat dengan kita, berlangsung pada abad ke-17 di Kepulauan Maluku: tentang pakar botani Georg Eberhard Rumpf.

Rumpf lahir di Hanau, Jerman, pada 1627. Dari ayahnya, ia belajar matematika, bahasa Latin, dan teknik menggambar mekanik. Namun, alih-alih meneruskan jejak ayahnya menjadi insinyur sipil, Rumpf remaja malah tergoda untuk bertualang ke negeri-negeri jauh. 

Saat berumur 18 tahun, ia mendaftar jadi serdadu bayaran buat membela Venesia, tetapi malah diperintahkan menumpangi kapal tujuan Brazil—Belanda dan Portugis sedang berebut wilayah di negeri itu—dan akhirnya terdampar sebagai tawanan di Portugal.

Tiga tahun di Portugal, Rumpf banyak mendengar cerita tentang Kepulauan Rempah-rempah beserta pelbagai daya pikatnya. Hasrat avonturnya berkobar. Setelah kembali tinggal di Hanau sekitar setahun, ia melamar jadi serdadu VOC dan berangkat ke Hindia Belanda.

Pada 1653, Rumpf ditugaskan merancang dan membangun benteng-benteng di Pulau Ambon. Empat tahun kemudian, menurut Dick Hartoko dalam Bianglala Sastra (1979), ia naik pangkat menjadi perwira muda zeni. Namun, pada waktu itu minat Rumpf di dunia militer telah pudar.

"Ia sudah menemukan jalan hidupnya. Ia mengajukan permohonan agar dapat dibebaskan dari dinas ketentaraan dan dapat diterima dalam bidang sipil. Permintaan tersebut dikabulkan dan ia diangkat sebagai saudagar muda [onderkoopman] di Larike di pantai utara Ambon, di semenanjung Hitu," tulis Dick.

Larike pada masa itu cuma desa kecil yang meliputi tiga dusun dan jumlah penduduknya hanya 837 orang, dan letaknya amat terpencil. Bagi kebanyakan pegawai VOC, situasi itu merupakan pembuangan, tetapi tidak untuk Rumpf. Di sana, karena tak banyak yang ia perlu lakukan sebagai agen VOC, Rumpf justru jadi punya banyak waktu buat menekuni urusan yang disebut Dick sebagai “jalan hidupnya.”

Rumpf jatuh cinta kepada kekayaan alam tropis. Ia tergugah buat mempelajarinya dan bertekad merangkumnya dalam katalog ilmiah yang lengkap.

Di Larike jugalah Rumpf berjumpa dan mengawini perempuan lokal bernama Susanna (mungkin keturunan Tionghoa, menurut J.F. Veldkamp dari Universitas Leiden dalam “Georgius Everhardus Rumphius, The Blind Seer of Ambon” [2011]). Susanna memperkenalkan tanaman anggrek Maluku kepada Rumpf dan ia menamai anggrek itu Flos Susannae—kini Pecteilis susannae (L.) Raf.

Tentang penamaan itu, di kemudian hari Rumpf menulis, “Untuk kenanganku bersamanya—kawan dan rekan pertamaku dalam mencari tumbuhan dan jamu-jamuan. Ia yang pertama kali menunjukkan kepadaku bunga ini.”

Rumpf alias Rumphius (pada masa itu, kaum intelektual menyukai citra kelatin-latinan) kelak akan dikenal sebagai pakar botani penting penulis Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741) dan D'Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon (1705), masing-masing tentang spesies tumbuh-tumbuhan dan kerang-kerangan di kepulauan Maluku. 

Namun, seakan-akan mengulang pengalamannya bertualang semasa muda, jalan menuju situasi itu ruwet dan penuh kesukaran.

Tugas pertama Rumphius ialah menamai setiap tanaman dan kerang yang ia koleksi. Ia melakukannya dalam bahasa Latin, Melayu, Ambon, dan, kalau mungkin, juga dalam bahasa Jawa, Hindi, Portugis, Cina, dan Belanda. “Ia memikul beban itu dengan keriangan seorang Nabi Adam baru,” tulis Jacob Mikanowski dari Atlas Obscura.

Selayaknya Nabi Adam baru, Rumphius menciptakan nama-nama unik dan, kadang, ganjil bagi temuan-temuannya. 

Dari kategori kerang-kerangan, ada nama-nama yang berarti “Tanduk Impian Kecil”, “Pemakaman Pangeran”, “Musik Petani”, dan “Harpa Venus Rangkap.” Dan nama-nama tumbuhannya: “Pohon Bugil”, “Tanaman Selingkuh”, “Tanaman Kenangan”, “Semak Quis-Qualis yang Menakjubkan”, “Tali Empedu”, “Janggut Saturnus”, dan—yang paling dahsyat—“Kembang Kelentit Biru.”

Tetapi tentu Rumphius tak berhenti sampai di situ. Lebih dari sekadar memberi nama, ia menggambarkan struktur, bentuk akar, susunan daun-daun, dan warna kembang setiap tanaman. 

“Ia bahkan menjelaskan manfaat setiap tanaman dalam koleksinya … Ia menerangkan tanaman apa yang baik buat menghentikan mencret, buat mengobati sakit kuning, dan buat membikin lawan jenis kelojotan menahan birahi,” tulis Mikanowski.

Hal paling berharga dari karya-karya Rumphius ialah kekayaan penjelasannya. Dalam hal isi, misalnya, ia tak hanya menulis tentang fakta spesies-spesies yang ia teliti, tetapi juga mitos-mitos rakyat tentangnya. Itu berarti, sebagai seorang ilmuwan, Rumphius tak arogan. Ia memberi tempat kepada hal-hal dari luar alam pikir dan pengetahuannya.

Baca lanjutannya: Georg Eberhard Rumpf, Ilmuwan Buta dari Ambon yang Legendaris (Bagian 2)

Related

Science 4657021315249518081

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item