Uang Panai hingga Tukon, Ini Adat Lamaran di Beberapa Suku Indonesia

Naviri Magazine - Indonesia memiliki banyak suku dan budaya. Suku dan budaya yang beragam ini menghasilkan banyak keberagaman dalam banyak hal, seperti perayaan, termasuk pernikahan. Jadi, kalau ditanya "Siapakah yang umumnya membiayai pernikahan di Indonesia?" jawabannya tergantung suku dan budayanya.

Sebagai contoh, "uang panai" pada suku Bugis, Makassar. Uang panai terkenal mahal, tergantung "level" sang perempuan (pendidikan, latar belakang keluarga, paras). Uang panai diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sebagai mahar dan resepsi. Jadi, untuk kasus ini, pernikahan dibiayai oleh pihak laki-laki.

Contoh lain, suku Jawa. Pihak laki-laki ketika lamaran akan memberikan uang tukon atau uang lamaran, yang nantinya sudah sebagai mahar dan biaya resepsi. Jadi, lagi-lagi pihak laki-laki yang membiayai. Sama dengan suku Bugis tadi, cuma bedanya uang panai biasanya mahal, minimal 100 juta bahkan ratusan juta.

Sementara di suku Jawa, uang tukon masih lebih bersahabat. Di beberapa kasus, kalau resepsinya bengkak, ya pihak perempuan yang menambahi. Nanti, ada lagi proses ngunduh mantu yang acara dan biayanya ditanggung pihak laki-laki.

Di bagian Jawa lain, seperti Indramayu, sebagian kecil biasanya pihak laki-laki yang membiayai, tapi pihak perempuanlah yang membeli perabot rumah tangga seperti kasur dan lemari (lebih untuk mengisi kamar pengantin). 

Beda lagi dengan suku Minangkabau. Pihak perempuanlah yang datang melamar, dan nantinya resepsi akan diadakan oleh pihak perempuan, dan dibiayai oleh pihak perempuan.

Di luar keterkaitan dengan suku, masih banyak orang yang punya pemikiran dan mempraktekkan "laki-laki yang membayar biaya pernikahan sebagai bentuk dia melamar dan menjemput anak gadis orang". Ini biasanya untuk laki-laki yang sudah bekerja dan menabung, ditambah dengan kondisi mungkin perempuannya tidak atau belum bekerja atau punya tabungan.