Dampak ‘Ice Cold’, Warganet Ragu Jessica Racuni Mirna (Bagian 2)


Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Dampak ‘Ice Cold’, Warganet Ragu Jessica Racuni Mirna - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Netizen makin yakin ada yang tidak beres dari adegan Devi menyebut “takut salah ngomong” usai ditanyakan hal serupa. Kecurigaan mereka pun tertuju pada ayah Mirna, Edi Darmawan Salihin. Penggambaran karakter Edi yang arogan sepanjang wawancara, serta kecenderungannya mencemooh fisik dan kondisi kejiwaan Jessica, membuatnya mudah dianggap tokoh antagonis.

Faktor-faktor lain di lapangan, misalnya seperti keluarga korban menghambat jalannya penyidikan atau Jessica tidak diberi ruang melakukan pembelaan, juga menumbuhkan prasangka bahwa proses hukum sudah diatur agar Jessica yang dijebloskan ke penjara. 

Untuk kasus Mirna, bagaimana caranya keluarga bisa mengetahui kebenarannya, jika mereka sendiri tidak mengizinkan dilakukannya autopsi? Otto Hasibuan selaku pengacara Jessica mengungkapkan di dalam dokumenter, dokter forensik beralasan dilarang polisi melakukan pemeriksaan menyeluruh, sedangkan surat perintah yang ada di berkas perkara berbunyi sebaliknya. Menurut Edi, autopsi tak dilakukan karena ibu Mirna tak tega jasad putrinya dibedah.

Meskipun analisis menunjukkan ada sianida pada organ tubuh Mirna, pemeriksaan baru dilakukan tiga hari setelah tewasnya Mirna, padahal racun itu menimbulkan reaksi cepat. Sampai sidang terakhir pun, tidak ada bukti kepemilikan sianida maupun transaksi pembelian racun dari pihak terdakwa. Di dalam dokumenter, Edi tampaknya keceplosan bilang dia sukses meyakinkan hakim untuk menghukum Jessica tanpa bukti. 

Walau kini beredar spekulasi baru, kasus Kopi Sianida sudah lama inkrah sehingga kecil kemungkinan aparat hukum akan mengusutnya lagi. Walau begitu penonton menilai Ice Cold ada bukan untuk memecahkan siapa dalang utama di balik kematian Mirna, melainkan menyoroti lemahnya sistem peradilan negeri ini. 

Dokumenter ini menunjukkan betapa aparat penegak hukum hanya fokus menahan Jessica lantaran harus ada pihak yang disalahkan atas kematian Mirna. Kurangnya bukti langsung tak lagi penting di sini. Jessica yang kena berhubung cuma ada dia di lokasi kejadian sebelum Mirna datang. Gerak-geriknya yang terekam di CCTV digunakan sebagai acuan membuat tuduhan kepada Jessica. 

Bisa dilihat dalam cuplikan sidang, tim jaksa penuntut tidak mampu membuktikan Jessica telah memasukkan sianida ke dalam kopi Mirna, dan kopinya benar-benar terkontaminasi racun. Namun, setiap kali kuasa hukum Jessica mengusulkan kemungkinan penyebab kematian Mirna alami, data mereka ditolak mentah-mentah. Mimik dan bentuk wajah Jessica sampai dijadikan “bukti” ia pembunuh berdarah dingin.

Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), yang menjadi narasumber film ini mengamini adanya potensi JPU telah memengaruhi pertimbangan hakim. “Yang dilakukan jaksa bukan membuktikan Jessica membunuh, tapi yang berusaha dilakukan jaksa adalah meyakinkan hakim bahwa Jessica mungkin membunuh,” katanya dalam wawancara Ice Cold.

Di samping itu, kasus Kopi Sianida telanjur meledak di media massa. Mayoritas publik saat itu percaya Jessica bersalah. Ada tekanan luar biasa yang memaksa hakim untuk menghukumnya, meski lagi-lagi, tidak ditemukan bukti Jessica meracuni temannya. Wajah lembaga peradilan akan tercoreng bila membiarkannya bebas.

Kita tak tahu pasti apa yang terjadi di balik layar. Tapi setidaknya, Ice Cold mengajak kita merenungkan kembali, mungkin Jessica telah diadili secara tidak adil selama ini.

Related

News 1920906044397399823

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item