Kisah Pria yang Menjadi Korban Kekerasan Istrinya Selama 10 Tahun (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Pria yang Menjadi Korban Kekerasan Istrinya Selama 10 Tahun - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pada awalnya, saya sering mencoba untuk putus dengannya, tapi lama-kelamaan saya menyerah. Ia berkeras kita menikah, dan kami pun menikah meskipun saya tidak mau.

Ira cemburu dengan siapa saja: teman-teman saya, keluarga saya. Ke manapun saya pergi saya harus menelponnya.

"Kenapa saya menghadiri konferensi itu?" "Kenapa saya bertemu teman ini?" Saya harus bersamanya, dalam genggamannya. Ia tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa saya--saya semacam sumber hiburan baginya.

Ira tidak bekerja. Saya yang bekerja, masak, dan bersih-bersih. Kami menyewa apartemen besar dengan dua kamar mandi. Saya dilarang memakai kamar mandi utama dan harus memakai kamar mandi tamu. Setiap pagi saya harus menunggu sampai ia bangun tidur pukul sembilan atau sepuluh pagi, kalau tidak saya akan dianggap mengganggunya.

Ia memutuskan kalau kami harus tidur di kamar yang berbeda, di mana kamar saya tidak ada kuncinya, jadi saya tidak bisa sendiri.

Kalau saya berbuat 'salah', ia akan berteriak dan memukul saya. Ini terjadi sekali sehari atau setiap dua hari sekali. Apapun yang terjadi, dia selalu menyalahkan saya. Ia terus berkata pria macam apa yang ia butuhkan dan apa yang seharusnya pria itu lakukan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya melakukan apapun yang dimintanya untuk menghindari kemarahannya--dan ini yang terjadi berikutnya.

Saya ingat turun tangga dan duduk di mobil, menangis. Ia berjalan dan melihat saya. Ketika saya pulang ke rumah, ia mengatakan ia sangat menyesal, tapi ia tidak bisa berhenti. Jadi semuanya akan terulang di hari berikutnya. Apapun yang saya lakukan, dan apapun yang saya rasakan, tidak ada yang berubah.

Saya juga tidak sempurna. Untuk menghindari semua ini, saya biasa bekerja selama 10, 12, 14 jam sehari, pada akhir pekan atau liburan. Pilihannya mudah bagi saya--beberapa orang memilih minum, saya memilih bekerja.

Saya mulai bicara dan tidak bisa berhenti

Jika Anda berada di situasi seperti itu, Anda tidak sadar apa yang terjadi pada Anda. Anda tidak melihat jalan keluar, dan Anda tidak mendengar siapa pun. Anda tidak akan berpikir bahwa Anda bisa melarikan diri, Anda akan putus asa.

Saya melakukan hal-hal yang tidak ingin saya lakukan karena saya sudah terbiasa. Saya selalu 'menjadi milik' orang lain dan tidak pernah ke diri saya sendiri. Saya adalah milik nenek saya, orang tua saya--saya selalu berpikir kita harus mengorbankan semuanya demi mempertahankan sebuah hubungan.

Jadi saya mengorbankan kepentingan dan diri saya, semuanya terlihat normal saat itu. Jadi semuanya menjadi lebih buruk.

Pada awalnya, saya cukup tidak suka, tapi lama-kelamaan, dalam tiga atau empat tahun terakhir hubungan kami, seks akan memicu serangan kepanikan secara konstan.

Saya akan terserang panik setiap Ira mengekang dan memaksa saya. Saat saya panik, saya akan menjauhinya, sembunyi dan lari, jauh dari rumah, atau setidaknya jauh dari kamar.

Ira menganggap masalah seks kami karena saya. Oleh karenanya, setiap beberapa tahun sekali ia akan membawa saya ke ahli seks. Setiap saya mengatakan ada beberapa hal yang saya tidak suka, dan saya tidak suka berhubungan seks, saya akan dibilang bahwa sayalah masalahnya. Saya tidak mengatakan apa-apa tentang penyiksaan dan perkosaan yang saya alami.

Untuk Ira, konsultasi ke seksologis seakan membenarkan pemikirannya. Saya baru bicara soal kekerasan yang saya alami beberapa waktu sebelum kami bercerai. Saya tidak berhenti bicara soal itu.

Saya menemukan dukungan dan jalan keluar

Saat itu musim gugur, dan saya terbaring di tempat tidur karena sakit bronkitis dan demam setinggi 39-40 derajat Celcius selama dua minggu. Tidak ada yang menengok saya selama itu. Itulah saat saya menyadari bahwa hidup saya tidak ada harganya dan tidak ada yang akan merindukan saya kalau saya meninggal saat itu juga.

Momen itu mencerahkan saya: saya merasa ngeri, jijik, dan kasihan pada diri saya. Saya ingin bilang ke seseorang, tapi saya tidak tahu ke siapa dan bagaimana caranya.

Suatu saat saya pergi ke rumah orang tua saya ketika mereka tidak di rumah, hanya untuk bisa sendiri. Saya sedang menelusuri internet dan melihat sebuah kotak chat yang tiba-tiba muncul. Semuanya serba anonim, seolah-olah kita tidak eksis.

Itulah pertama kalinya saya mengungkap semua yang terjadi pada saya. Saya masih tidak sadar bahwa itu adalah penyiksaan, tapi sejak saat itu saya mulai berani berkata "tidak" lebih sering.

Pertama, soal hal-hal kecil. Penting bagi saya untuk berkata "tidak" daripada diam. Kapanpun saya butuh kekuatan, saya selalu terngiang momen ketika saya sakit.

Akhirnya saya menemukan terapis keluarga yang memberi saya dukungan. Ira dan saya bergiliran bicara kepadanya, dan ia dilarang menginterupsi saya. Itulah ketika saya pertama kali bicara tentang penyiksaan bagi saya. Ia sangat marah, lalu berteriak kepada saya dan menyangkal semuanya.

Baca lanjutannya: Kisah Pria yang Menjadi Korban Kekerasan Istrinya Selama 10 Tahun (Bagian 3)

Related

Romance 8606110213536651272

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item