Masalah di Balik Kewajiban dan Sanksi Pidana Terkait Aplikasi PeduliLindungi


Pemerintah mewajibkan masyarakat menggunakan aplikasi PeduliLindungi dan memberikan sanksi administratif kepada mereka yang tidak memakai aplikasi tersebut selama masa libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022. 

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan minta pemerintah daerah mengeluarkan aturan yang memaksa semua pihak menggunakan aplikasi tersebut. Pemerintah ingin penggunaan PeduliLindungi di masa Natal dan Tahun Baru menjadi momentum kesadaran publik. 

“Hari ini saya keluarkan surat edaran agar para gubernur membuat Peraturan Kepala Daerah. Itu sebentar saja dibuat dan isinya di antaranya adalah agar di ruang-ruang publik menerapkan aplikasi PeduliLindungi dan kemudian menegakkannya, berikut memberi sanksi administrasi,” kata Tito. 

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan rencana ancaman merupakan kesalahan yang lagi-lagi dilakukan pemerintah yang terus mempromosikan penggunaan ancaman sanksi pidana untuk menjamin kepatuhan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19. 

Proposal untuk menggunakan sanksi pidana harus dipikirkan dengan matang, saksama dan proporsional. Penggunaan sanksi pidana untuk penanggulangan COVID-19 telah menunjukkan kesemrawutan dan diskriminatif. Pemerintah pernah menerapkan sanksi pidana bagi pelanggar PPKM berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 16 Tahun 2021. 

Instruksi ini menyampaikan bahwa pelanggar PPKM dapat dikenai sanksi pidana melalui berbagai macam instrumen hukum: Pasal 212-Pasal 218 KUHP, pasal pidana dalam UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, pasal pidana dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perda, Perkada, dan ketentuan lain. 

“Masing-masing aturan tersebut memuat ketentuan unsur tindak pidana yang spesifik, sedangkan dalam penerapannya tidak sesuai dengan unsur pidana yang dimaksud. Bahkan penggunaan Pasal 212, 218 KUHP tentang melanggar perintah petugas tidak tepat digunakan, memunculkan kesewenangan,” ujar peneliti ICJR Genoveva Alicia. 

Berbagai macam upaya yang merendahkan dan bersifat menghukum, diterapkan tanpa adanya dasar hukum yang jelas dan proporsionalitas antara pelanggaran dengan sanksi yang diberikan, kata Genoveva. 

Disproporsional ditemukan terjadi kepada pedagang-pedagang skala menengah hingga kecil atau bahkan pedagang kaki lima apabila dibandingkan dengan pelaku usaha skala besar, ataupun antara masyarakat biasa dengan masyarakat dengan profil tertentu. 

Keberadaan sanksi pidana yang terus dipromosikan justru akan menimbulkan praktik-praktik diskriminasi dan tidak menyelesaikan masalah kepatuhan yang ingin diintervensi oleh pemerintah. 

Pembahasan mengenai sanksi pidana di dalam penegakan protokol kesehatan selama pandemi COVID-19 tidak pernah mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah, hal ini juga menandakan peringatan bagi dewan perwakilan rakyat tingkat pusat maupun daerah, karena penggunaan dan promosi sanksi pidana hanya dapat dibahas oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. 

Sikap kritis terhadap proposal pemerintah belum cukup ditunjukkan oleh dewan perwakilan rakyat. 

“Kami tekankan, pelanggaran atas protokol kesehatan adalah pelanggaran yang bersifat administrasi. Intervensi yang tepat dilakukan pemerintah terhadap masalah administrasi adalah membangun sistem yang jelas, termasuk pengawasannya. Pemerintah tidak dapat mendahulukan promosi penggunaan sanksi pidana tanpa upaya yang jelas untuk membangun sistem,” jelas Genoveva. 

Dalam penggunaan aplikasi PeduliLindungi, kata dia, pemerintah harus terlebih dahulu memastikan kejelasan pihak yang harus menggunakan aplikasi, bagaimana melakukan pendaftaran dan harus ada evaluasi berkala, serta tidak dapat memberikan sanksi kepada masyarakat. 

Alih-alih menghukum dengan menggunakan sanksi pidana, pemerintah harus memikirkan peluang insentif yang dapat menstimulus kepatuhan masyarakat. Tanpa perlu menyebarkan ancaman, sikap keras pemerintah yang terbukti menimbulkan kesewenangan kepada rakyat menengah ke bawah minim akses keadilan. 

“Jangan sampai penggunaan ancaman pidana diartikan sebagai bentuk frustasi dan ketidakmampuan pemerintah dalam menata masalah dalam masyarakat,” imbuh Genoveva. 

Jangan Sembarangan Hukum Rakyat 

Ultimum remedium merupakan istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas dalam penegakan hukum. Asas hukum pidana Indonesia memaktubkan bahwa hukum pidana dijadikan langkah terakhir dalam hal penegakan hukum. 

Maka, suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) dan upaya itu dapat ditempuh terlebih dahulu ketimbang pemenjaraan. 

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi berujar, sanksi pidana merupakan ultimum remedium dan tidak bisa serta-merta diterapkan tanpa pemerintah memastikan aplikasi PeduliLindungi bekerja optimal. 

“Misalnya (masyarakat) tidak menggunakan karena aplikasinya eror, itu bagaimana pengaturannya? Lalu apa urgensi pemidanaan terhadap orang yang tidak menggunakan aplikasi itu?” ucap dia. 

Masyarakat yang tidak menggunakan PeduliLindungi, otomatis tidak bisa masuk ke dalam sebuah ruangan yang mensyaratkan penggunaan aplikasi tersebut. Namun jika publik bisa masuk ke mal, misalnya, tanpa mengakses PeduliLindungi, maka yang bermasalah adalah si penyedia aplikasi itu. 

“Yang perlu ditekankan, memastikan bahwa protokol kesehatan tetap dijalankan. Bukan soal aplikasinya. Aplikasi bisa apa pun, tapi protokol kesehatan bisa dipastikan di lapangan. Jangan sedikit-sedikit pidana,” lanjut Fachrizal. 

Kalaupun ada Perda, kata dia, sebaiknya berisi tentang antisipasi COVID-19, bukan mempromosikan pidana kepada rakyat. Dampak dari sanksi pidana adalah pemenjaraan, sementara penjara di Indonesia sudah melebihi kapasitas. Pemenjaraan juga bertolak belakang dengan cara pemerintah yang membebaskan narapidana saat virus Corona merebak di awal tahun lalu. 

Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 jadi dasar pembebasan tersebut. 

Perbedaan ‘keinginan’ pemerintah ini sulit diterima akal. Kemenkumham ingin membebaskan narapidana agar COVID-19 tak menular, sementara kementerian lain ingin pelanggar peraturan dipenjarakan. Jika Peraturan Daerah itu benar diketok palu, maka rakyat bisa menggugat. 

“Bisa (ajukan) judicial review kepada Mahkamah Agung, kalau (berkaitan dengan) Perda. Kalau ada masyarakat yang dilanggar haknya, bisa melakukan praperadilan,” jelas Fachrizal.

Related

News 4877494949908903123

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item