Kenangan Para Penggemar Saat Membaca Cerita Silat Kho Ping Hoo


Ada banyak kisah di balik seseorang menyukai cerita silat alias cersil karangan Kho Ping Hoo. Mulai dari tak sengaja menemukan di gudang, hingga mendengarnya pertama kali dari orang tua.

Telah menulis sejak 1952 dan tak berhenti hingga menutup usia pada 1994, Kho Ping Hoo dengan kisah-kisahnys adalah buaian sejumlah generasi yang melewati periode tersebut.

Mereka terbius, dibuat terperangah, dan keranjingan menuntaskan cerita demi cerita silat yang dibuat pria peranakan dengan nama pena Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo itu.

Salah satunya Aprinus Salam. Akademisi sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada ini masih ingat jelas perkenalannya dengan Kho Ping Hoo di sebuah gudang kala ia masih duduk di bangku SMP sekitar 1979.

"Saya tiba-tiba disuruh membersihkan gudang karena ada teman yang mau ngekos, terus saya menemukan sekitar 2-3 jilid [cersil] Kho Ping Hoo, jilid 11,12,13 itu, cuma itu, terus saya baca," kata Aprinus.

"Setelah dibaca 'lho kok asik?', terus carilah ke penyewaan komik. Terus mulai tergila-gila sama Kho Ping Hoo," lanjutnya.

Kanya yang tumbuh pada dekade '80-an juga mengalami pengalaman serupa. Bahkan ia menyebut cersil Kho Ping Hoo adalah tren pada masa itu.

"Waktu itu heboh banget," kata Kanya. "Kebetulan teman dan adik, semua senang mengoleksi buku. Nah pas ada Kho Ping Hoo, enggak ketinggalan juga tuh dikoleksi, karena ceritanya seru banget dan enggak bisa berhenti baca."

Cersil Kho Ping Hoo memang sefenomenal itu. Hal itu digambarkan dalam esai peneliti cerita silat dan pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo, Leo Suryadinata. Ia menulis, setiap terbitan cersil Kho Ping Hoo bisa mencapai 10-15 ribu jilid dan dalam sebulan terjual habis.

"Menurut perkiraan Kho Ping Hoo [1985], di seluruh pelosok Indonesia ada banyak tempat menyewakan buku-buku silat, terutama karya Kho Ping Hoo," tulis Leo dalam esainya, Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Ulasan Ringkas (Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, 1994).

"Bila setiap jilid dibaca oleh 25 orang, maka setiap edisinya kira-kira ada 1,6 juta pembaca," lanjutnya.

Meski begitu, Aprinus dan Kanya tak serta merta mudah menemukan buku Kho Ping Hoo. Mereka mengaku rela mengantre hingga dua hari untuk mendapatkan koleksi jilid-jilid cersil. Ketika sudah di tangan, mereka pun menghabiskan waktu seharian melahap cerita dari Kho Ping Hoo.

Bagi Aprinus dan Kanya, cara Kho Ping Hoo menyusun alur cerita adalah magnet yang merekatkan mereka pada karya sastra populer itu. Kho Ping Hoo dinilai membangun konflik yang tak berkesudahan sehingga para pembaca dibuat penasaran untuk melihat akhir ceritanya.

"Tokoh utamanya itu baru ketemu dengan yang jahat itu selalu di bagian bagian akhir. Jadi kita ikut penasaran menunggu tokoh yang jahat itu nanti ketemu tokoh yang sakti biar dihajar," papar Aprinus semangat.

Belum lagi soal jurus-jurus unik ciptaan Kho Ping Hoo, mulai dari Pat-Mo-Kiam-Hoat (ilmu pedang delapan iblis) hingga ilmu silat tangan kosong Bian-Sin-Kun (Tangan Kipas Sakti). Semua membuat Aprinus tenggelam dalam cerita.

Sedangkan bagi Kanya, pesan dan nilai serta falsafah yang ada dalam cerita garapan Kho Ping Hoo mampu membuat hatinya hangat sehingga betah terus membaca.

"Kalau punya keinginan, harus bekerja keras agar tercapai, kaya [tokoh di cerita silat] Kho Ping Hoo kan juga berlatih bela diri dari kecil biar bisa mencapai tujuannya," ujar Kanya.

Bila Aprinus dan Kanya adalah saksi ketika buku Kho Ping Hoo masih berjejer-jejer di toko buku umum, Patricia (bukan nama sebenarnya) punya pengalaman berbeda. Sebagai bagian dari generasi milenial, ia justru mengetahui kisah dunia persilatan itu dari ayahnya.

"Dulu saya kira itu pengarang dari China. Tapi cuma sebatas mendengar, belum pernah memegang buku atau melihat bentuk bukunya kayak apa, sampai akhirnya dapat pinjaman setelah lulus kuliah," kata Patricia.

Meski bukan dari generasi ayahnya, Patricia ternyata juga itu terpincut dalam drama demi drama imajinasi Kho Ping Hoo. Ia yang mendapatkan karya Kho Ping Hoo pertama kali dalam bentuk digital dari tangan ke tangan akhirnya ketagihan membaca cersil itu melalui komputer hingga lupa waktu.

"Yang menariknya lagi dari Kho Ping Hoo itu jalan ceritanya, banyak plot twist, dan dia enggak bikin tokohnya hitam-putih," katanya.

Patricia tak sendiri menemukan karya Kho Ping Hoo dalam bentuk digital. Bagi generasi milenial ke bawah, cerita Kho Ping Hoo lebih banyak ditemukan di mesin pencarian, blog, unggahan generasi senior di media sosial, atau pun di marketplace.

Padahal, bisa jadi generasi seangkatan atau lebih muda dari Patricia telah terpapar karya Kho Ping Hoo namun tak menyadarinya. Cersil Kho Ping Hoo begitu menginspirasi banyak orang, hingga sejumlah pertunjukan hingga sinetron mengadaptasinya.

Beberapa cerita juga sudah pernah dibuat dalam versi film, yaitu Dendam si Anak Haram, Darah Daging, dan Buaian Asmara (dalam film judul diganti menjadi Cintaku Tergadai). Termasuk dua judul lain yakni Badai Laut Selatan (1991) dan Perawan Lembah Wilis (1993) yang diangkat sebagai cerita sinetron di saluran Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Sejumlah penulis naskah serial televisi lainnya juga pernah mengaku kepada keluarga Kho Ping Hoo bahwa dia mengadaptasi gaya silat dan cerita karya ayah mereka ke sebuah serial yang tayang hit di televisi beberapa tahun lalu.

Terkait adaptasi kisah karya Kho Ping Hoo ke media lain seperti gambar bergerak, ketiga penggemar ini mengaku tak masalah bila suatu saat nanti benar-benar ada proyek utuh berdasarkan cerita Kho Ping Hoo.

"Tapi harus ada jaminan ketika dibuat film jadi bagus. Tapi kalau enggak bisa, lebih baik jangan. Saya takut kecewa. Lebih baik saya enggak menonton karena nanti bayangan dan kenangan indah saya ketika baca Kho Ping Hoo jadi rusak. Rugi saya," kata Aprinus.

Related

Books 6495879778736128

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item