Pengaruh Televisi dan Masalah Tayangan Buruk

Pengaruh Televisi dan Masalah Tayangan Buruk

Naviri.Org - Sebagai media yang diakses oleh mayoritas orang di dunia, televisi memiliki peran yang jelas besar dalam membentuk atau mengubah persepsi banyak orang (penontonnya). Kenyataan itu memang sulit dibantah, mengingat televisi menjadi media yang paling banyak diakses masyarakat, tak peduli di negara mana pun. Bahkan, televisi menjadi benda yang nyaris bisa ditemukan di rumah mana pun, di negara mana saja.

Dengan kekuatan semacam itu, televisi bisa dibilang dapat “melakukan apa saja” untuk membentuk dan mengubah persepsi penontonnya. Sayang, dalam hal ini, televisi juga masih kerap menayangkan tayangan-tayangan buruk atau yang tidak memberi manfaat bagi para penontonnya.

Merujuk data Statista, diprediksi ada 1,68 miliar televisi yang akan mengisi ruang-ruang keluarga di seluruh dunia pada 2021 kelak. Di Indonesia, merujuk survey yang dilakukan Nielsen, televisi merupakan media utama yang dikonsumsi masyarakat, baik di Jawa maupun Luar Jawa. Televisi dikonsumsi 95 persen masyarakat. Unggul jauh dibandingkan internet (33 persen), radio (20 persen), koran (12 persen), dan majalah (5 persen).

Lebih lanjut, rata-rata konsumsi televisi meningkat pada anak-anak di rentang usia SMP, yang menghabiskan waktu menonton televisi antara 3 hingga 5 jam per hari. Secara umum, generasi Z menghabiskan waktunya di depan televisi untuk memperoleh hiburan dengan rincian menonton sinetron atau serial (34,1 persen) dan menonton kartun atau animasi (34,6 persen).

Angka-angka yang dipaparkan itu menegaskan betapa kuatnya televisi sebagai media hiburan utama. Dalam hal tertentu, ia juga menjadi medium pemersatu masyarakat.

Sayangnya, meski televisi merupakan medium yang paling luas jangkauannya, terutama di Indonesia, mutu acara yang ditayangkan masih medioker. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam sebuah laporan berjudul “Survei Indeks Kualitas Program Siaran televisi Periode 1 2017” mengungkapkan, terdapat beberapa program tayangan televisi yang kualitasnya masih jauh berada di bawah ambang batas standar yang ditetapkan KPI.

Dalam laporannya itu, KPI menetapkan indeks standar berada di angka 3.00 dari skala 4. Indeks tersebut bersumber dari penilaian-penilaian yang dilakukan pemirsa ahli (pemirsa yang memiliki keahlian-keahlian tertentu hingga dapat menilai suatu program televisi).

Dari 8 program televisi yang dinilai, 4 di antaranya memiliki standar di bawah harapan. Ke-4 program televisi dengan nilai di bawah harapan itu ialah Variety Show (2,43), Sinetron (2,45), Infotainment (2,36) dan Berita (2,95). Lebih jauh, dari ke-8 program yang dinilai, tak satupun program televisi di Indonesia yang memperoleh nilai sempurna.

Hasil survei yang dilakukan KPI jelas merupakan peringatan keras bagi siapa pun. Kualitas program televisi yang buruk bisa memengaruhi pemikiran para pemirsanya secara negatif.

Perkara pengaruh buruk ini tak hanya ditunjukan oleh survei yang dilakukan KPI. Secara umum, merujuk apa yang dipaparkan Allen Eisenach dari School of Theology at Claremont, California, Amerika Serikat, televisi, terutama melalui tayangan yang secara umum buruk, cenderung memiliki nilai negatif, stereotip, konsumerisme, dan pendekatan yang dangkal terhadap kehidupan bagi para penontonnya. Ini tentu membuat keprihatinan tersendiri, mengingat kekuatan televisi yang bisa merasuk ruang-ruang paling privat keluarga.

James N. Druckman, dalam jurnalnya berjudul “The Power of Television Images”, mengungkapkan bahwa tayangan televisi memengaruhi persepsi penonton. Ia, dalam penelitiannya untuk jurnal tersebut, mengamati bagaimana persepsi penonton televisi dalam tayangan debat antara John F. Kennedy dan Richard Nixon pada 1960. Debat Kennedy dan Nixon itu merupakan debat politik pertama yang mengudara lewat televisi.

Jurnal yang bersumber pada pengamatan terhadap 171 partisipan itu menghasilkan kesimpulan bahwa tayangan debat antara Kennedy dan Nixon di televisi berimplikasi sangat signifikan terhadap persepsi para penontonnya. Lebih lanjut, Druckman mengatakan, persepsi yang timbul antara lain efektivitas kepemimpinan, integritas, dan empati atas dua tokoh tersebut.

Apa yang diungkap Druckman sesuai dengan perkataan Frank Stanton, pemimpin CBS (stasiun televisi yang menayangkan debat) yang dikutipnya. Stanton menegaskan, “Kennedy memperoleh medali perunggu terindahnya, dan Nixon terlihat bagaikan orang mati.”

Satu hal yang menarik, Druckman mengungkapkan bahwa ada perbedaan persepsi antara penonton televisi dan pendengar radio atas debat itu. Pendengar radio lebih memilih Nixon memenangkan debat dibanding Kennedy yang dipilih pemirsa televisi. Ini artinya, televisi, terlebih melalui fitur tampilan visual, sukses memberi nilai lebih bagi para pemirsanya dibanding pendengar radio.

Tampilan visual, masih menurut Druckman, memberikan persepsi lebih pada orang-orang yang menilai. Selain itu juga meningkatkan pembelajaran politik pada para pemirsanya dibandingkan radio. Ini memberi poin lebih bagi pemirsa televisi untuk memenangkan Kennedy daripada Nixon.

Baca juga: Rahasia di Balik Kesuksesan Serial Televisi

Related

Psychology 1628218999420405595

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item