Biografi Kim Dae-jung, Presiden Korea Selatan dan Peraih Nobel

Biografi Kim Dae-jung, Presiden Korea Selatan dan Peraih Nobel

Naviri Magazine - Kim Dae-jung lahir di Haui-do (kini Jeolla Selatan), Korea Selatan, 3 Desember 1925. Dia adalah mantan presiden Korea Selatan dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2000. Ia menjadi orang pertama Korea yang menerima penghargaan itu.

Penganut Katolik Roma sejak 1957 ini dijuluki sebagai "Nelson Mandela"-nya Asia, dan seorang tokoh oposisi demokrasi saat pemerintahan diktator militer. Kim Dae Jung menjabat sebagai presiden (menggantikan Kim Young-sam) pada periode 1998-2003.

Masa kecil

Ia lahir di Haui-do, Jeollanam-do, sebuah kepulauan di wilayah Korea Selatan. Ia lahir dari pasangan petani kaya dari pulau Haui-do (barat daya lepas pantai Semenanjung Korea) dan pedagang. Ia sempat menggeluti bisnis perkapalan sebagai Presiden Direktur Dae Yang Shipbuilding.

Karier politik

Semenjak muncul ke panggung politik pada 1954, ia dikenal sebagai politikus yang selalu lolos dari percobaan pembunuhan, penculikan, dan hukuman mati. Ia pernah menjadi akuntan pada sebuah penerbitan surat kabar, dan mulai tampil di panggung politik sejak 1961 dengan menjadi anggota parlemen, dan lulus di Universitas Korea di bidang bisnis pada 1964.

Ia memutuskan terjun ke politik, setelah kudeta militer pada 16 Mei 1961 terhadap Perdana Menteri John M. Chang. Kudeta itu mengantar Panglima Divisi II Angkatan Darat, Mayjen Park Chung-hee, berkuasa. Tahun 1975, ia dijatuhi hukuman penjara lima tahun, karena menentang Yushin, dan dibebaskan pada 1978.

Kurun waktu pemerintahan Jenderal Park Chung-hee dan Kim Jong-pil, yang menjabat perdana menteri (1971-1973), seperti menjadi periode kelabu baginya. Sebagai aktivis gerakan pro-demokrasi dan anti-militerisme, ia dianggap sebagai penghambat atau penghalang, karena potensinya dalam mengancam stabilitas kekuasaan pemerintah yang sangat berkepentingan menjaga status quo. Ia pun dicap sebagai "musuh negara".

Tahun 1971, ia mendapat ancaman teror. Operasi intelijen dimatangkan, mengingat Park Chung-hee nyaris terkalahkan saat perebutan kursi presiden pada pemilu tahun itu.

Jalan lapang yang tinggal selangkah pun hilang karena ditelikung oleh Park Chung-hee dan Kim Jong-pil, lewat sebuah kecelakaan mobil di jalan raya. Kakinya jadi sedikit pincang.

Kejadian tersebut bukan membuatnya mundur, tetapi justru makin bersemangat. Ia bahkan menjadi seorang yang keras mengecam pemerintahan militer, sehingga teror pun semakin kuat terhadap dirinya.

Tahun 1973, saat berada di dalam kamar sebuah hotel di Tokyo (Jepang), ia diculik oleh agen inteligen KCIA. Ia diculik serta diikat pada sebilah papan perahu motor, dan perahunya diapungkan ke lautan lepas. Rencananya, ia akan ditenggelamkan hidup-hidup. Tetapi, ia terselamatkan oleh sebuah helikopter yang melintas di atasnya, dan menolongnya.

Semakin lantang bersuara, semakin kuat ia mendapat teror. Gara-gara menandatangani deklarasi Perjuangan Mengembalikan Demokrasi Nasional, ia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara (1976) atas tuduhan menggalang aktivis anti-pemerintah. Dua tahun ia meringkuk di penjara.

Peristiwa Kwangju berdarah pada 1979, yang ditandai dengan pendudukan massa selama sepuluh hari atas sejumlah markas militer dan berakhir dengan tewasnya sekitar 200 orang serta penangkapan sedikitnya 30.000 tersangka oleh militer pada 27 Mei 1980, menjadikannya ditangkap. Palu hukuman mati dijatuhkan pada 1979 atas tuduhan hendak menjatuhkan pemerintahan militer.

Oleh gencarnya tekanan politik mahasiswa pendukung pro-demokrasi dan protes masyarakat internasional, akhirnya Presiden Chun Doo-hwan mengalihkan hukumannya menjadi seumur hidup (1981). Ia ditahan pemerintah militer di Cholla, dan dibebaskan melalui surat amnesti umum tahun 1982.

Karena masih dianggap potensial mengancam pemerintah, Chun Doo-hwan mengharuskannya pergi ke Amerika Serikat pada 1982. Alasannya agar berobat akibat gangguan saraf karena kecelakaan mobil.

Selama dua tahun tinggal di Washington, ia mendirikan The Korean Institute for Human Rights. Ia kembali ke Korea Selatan pada 1985. Begitu mendarat di Seoul, ia dihadang petugas, dan langsung dikenai hukuman tahanan rumah hingga Februari 1986.

Semangat cinta demokrasi, berwatak jujur, dan menjunjung keadilan, sangat mewarnai perjalanan hidup dan karier politiknya. Latar belakang keluarganya yang penganut Katolik, dipraktikkan sungguh-sungguh. Dari ayahnya, ia menyerap cita rasa tinggi pada nilai seni, sedang ibunya banyak memberikan wejangan sekaligus teladan hidup yang sarat nilai moral dan sosial.

Proses internalisasi (pembatinan) nilai-nilai moral berjalan mulus seiring dengan seringnya menyaksikan teladan nyata kedua orang tua yang tanpa henti mempraktikkan "prinsip demokrasi" dalam keluarga, dan menumbuhkan semangat pengampunan.

Semangat cinta demokrasi, kebenaran, dan keadilan itu pula yang menjadikan rakyat Korea Selatan tak pernah bosan menyaksikan kiprah politisi yang dijuluki Indongcho (Si Rambut Teki) yang tahan banting itu.

Meskipun pada pemilu presiden 1971, 1987, dan 1992 ia gagal merebut kursi presiden sepanjang karier politiknya selama 43 tahun, pesona dan kharismanya tetap memancar kuat. Ia pun kemudian menang dalam pemilu presiden pada Desember 1997, saat mengalahkan Lee Hoi-chang dari Partai Besar Nasional dan Rhee In-je dari Partai Rakyat Baru.

Berakhirnya kekuasaan Presiden Kim Young-sam selintas menandakan pupusnya dominasi militer yang runtuh akibat krisis moneter.

Krisis ekonomi 1997

Awal tahun 1998, Kim Dae-jung dilantik sebagai Presiden Korea Selatan. Pelantikannya ditandai dengan pemukulan bel raksasa Poshin-gak yang pernah diperdengarkan ketika Korea Selatan menyatakan kemerdekaan dari Jepang.

Ia pun menjadi presiden pertama dari kelompok oposisi. Upacara pengambilan sumpah dihadiri 38.000 orang di sebuah plaza di depan Majelis Nasional, dan ribuan lain di luar plaza.

Setelah bantuan IMF (Dana Moneter Internasional) diterima, ia melancarkan serangkaian pembaruan. Meskipun terjadi bentrokan dan pertengkaran di antara sesama warga, semuanya tidak menyurutkan niat untuk bersama-sama mengatasi krsis dengan cara menyumbang emas untuk negara.

Lima chaebol (konglomerat) terbesar, yaitu Hyundai, Samsung, Daewoo, LG, dan Sungkyong, menjadi teladan dalam melakukan restrukturisasi dan liberalisasi. Ada penghargaan para pejabat tinggi dan warga pada hukum, demokrasi, tradisi, dan kerja keras.

Ada kompromi antara kaum buruh dan chaebol. Pemerintah mematok penanaman modal asing senilai US$ 15 milyar dan US$ 20 milyar hingga tahun 2002, sehingga mengalami pertumbuhan tingkat ekonomi sebesar 7% yang melampau perkiraan (2-3%). Tingkat bunga yang membubung sampai 30% tinggal 8% saja. Mata uang won stabil, cadangan devisa bertambah, dan negara mulai membayar pinjaman IMF sebesar US$ 3,8 milyar.

Pengangguran diturunkan, dari 6,8% pada tahun 1998 menjadi sekitar 4,4% pada akhir 1999. Ia juga mengampuni Chun Doo-hwan (presiden periode 1980-1988) dan Roh Tae-woo (presiden periode 1988-1993) yang terbukti bersalah selama menjabat. Atas prakarsanya mendamaikan negaranya dengan Korea Utara, ia pun menerima Nobel Perdamaian 2000 bersama Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il.

Related

History 4349091019045336444

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item