Kisah Salman Rushdie dan Kontroversi Buku The Satanic Verses
https://www.naviri.org/2019/10/kisah-salman-rushdie.html
Naviri Magazine - Sedikit penulis buku yang mampu memicu seorang pemimpin tertinggi Iran, Ayutallah Khomeini, mengeluarkan fatwa mati. Mungkin hanya Salman Rushdie penulis buku yang membuat dirinya dijatuhkan fatwa mati.
Salman Rushdie adalah penulis kelahiran India, namun tinggal dan memiliki kewarganegaraan Inggris. Dilahirkan di Mumbai 19 Juni 1947, Rushdie dikenal sebagai pengarang penting di akhir abad 20.
Tulisan Rushdie menjadi terkenal karena mencampur antara sejarah dan realisme magis. Sebanyak 13 buku karangannya mendapat berbagai macam penghargaan. Termasuk Booker Prize untuk Midnight's Children pada 1981, dan Booker of Bookers untuk novelnya pada 1993.
Dia bersembunyi setelah Ayatollah Khomeini mengeluarkan fatwa pada 1989 yang memerintahkan kaum Muslim untuk membunuhnya, karena dianggap menghina Islam atas bukunya yang berjudul The Satanic Verses.
Pada Satanic Verses, Rushdie memasukan Tuhan dalam Islam sebagai tokoh. Umat Islam menilai buku ini menyerang Islam, dan perlu dilarang penyebaran buku tersebut. Banyak negara yang juga melarang peredaran buku ini.
Atas fatwa yang dikeluarkan oleh Ayatullah Khomeini kepada Rushdie dan penerbit buku, pada 1989 pemerintah Inggris mulai melindungi Rushdie. Atas kebijakan Inggris ini, Iran mengeluarkan reaksi keras dengan memutuskan diplomatik kedua negara. Sadar dirinya terus diburu, Rushdie kemudian menulis esai yang membuktikan dia masih beriman pada Islam pada 1990.
Pada 16 Juni 2007, Salman Rushdie memperoleh anugerah gelar kebangsawanan dari Ratu Elizabeth II. Bersama seorang wartawan CNN dan agen ganda KGB, ia menerima gelar ksatria yang menandai perayaan ulang tahun Ratu Elizabeth II.
Iran mengecam keputusan Inggris menganugerahi gelar ksatria kepadanya, dan mengatakan penganugerahan itu menghina dunia Islam. Penganugerahan gelar keksatriaan telah memicu pertengkaran diplomatik dengan sejumlah negara.
Menurut kantor berita IRNA, Kementerian Luar Negeri Iran memanggil Duta Besar Geoffrey Adams, dan menyatakan bahwa keputusan pemberian gelar merupakan "langkah provokatif" yang membuat berang kaum Muslim.