Nasib Bioskop dan Tantangan Membangun Drive-in Cinema di Indonesia

Nasib Bioskop dan Tantangan Membangun Drive-in Cinema di Indonesia, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Indonesia pernah punya drive-in cinema di Pantai Binaria (Ancol) pada 1970. Ia sempat jadi drive-in cinema terbesar di Asia, namun dinilai tak begitu menguntungkan beberapa belas tahun setelahnya dan akhirnya diganti menjadi pusat perbelanjaan. 

Sementara, budaya menonton film di Indonesia memang masih identik dengan hiburan mewah. Tak perlu jauh-jauh membicarakan di masa penjajahan, saat ini jumlah layar bioskop per kapita saja masih sangat minim. 

Mengutip Wacana Sinema: Menonton Penonton (2019) terbitan Dewan Kesenian Jakarta, cuma ada 1.200 layar bioskop di Indonesia per 2016. Itu artinya, cuma ada 0,4 layar bioskop untuk 100 ribu orang di Indonesia (bandingkan dengan Amerika Serikat, 14 layar; dan China 1,8). Itu pun, 70 persennya berada di Jawa. Dari situ pun, 70 persennya berada di Jakarta. 

Dimas Jayasrana, seniman visual yang juga founder spektakel.id, juga tak yakin drive-in cinema akan bertahan di Indonesia, misalnya, ketika pandemi telah berakhir. 

“Kalau hitungan di atas kertas, tidak. Bisa jadi salah dengan realita lapangan. Aku enggak percaya kalau bisnis seserius itu—membuka bioskop drive-in—dilakukan dengan perspektif mengisi kekosongan masa pandemi,” ujar Dimas. 

Menurutnya, banyak faktor yang bisa saja mempengaruhi performa drive-in cinema di Indonesia. “Penonton tidak lahir dari batu. Kalau kemudian masyarakat oleh banyak sebab memiliki resistensinya sendiri, kita mau ngomong apa?” kata Dimas, yang kemudian menyebutkan tantangan yang dihadapi drive-in cinema apabila mau menggantikan bioskop. 

Bioskop, Dimas bilang, sejak awal didesain sebagai ruang gelap untuk menonton, dirancang agar penonton mendapat pengalaman sinema paling maksimal. “Visualnya, tata suaranya, minimnya distraksi. Misalnya ketika mereka datang (ke drive-in) lalu mereka merasa tidak terpuaskan dari pengalamannya by any meaning lalu nggak datang lagi, gimana? Aku nggak bilang ini kelemahan ya, ini challenge.”

Selain soal pengalaman menonton sendiri, persoalan izin dan censorship film menjadi hal yang diperhatikan Dimas. “Drive-in cinema ini masuk kerangka UU Perfilman nggak? Karena tidak ada definisinya. Apakah drive-in itu bioskop, apakah dia layar tancap?”

Pertanyaan itu penting karena banyaknya aturan-aturan yang ada di bawahnya. Misalnya, bila ia layar tancap, maukah ia mengikuti aturan main yang selama ini disebut dengan bioskop keliling?

“Misalnya, film layar tancap itu tidak boleh memutar film yang sedang diputar di bioskop. Paling cepat sebulan setelah turun dari bioskop. Lalu titik layar tancapnya itu radiusnya 5 km kalau nggak salah dari bioskop terdekat,” tambah Dimas. 

Juga soal sensor. “Ketika lu puter layar tancap aja, itu open space, siapa pun bisa lewat situ, lu nggak bisa muter Deadpool, misalnya. Film yang bisa diputar di layar tancap itu harus dalam kategori semua umur. Drive-in cinema gimana?” tanya Dimas retorik. 

“Jadi banyak banget yang perlu dipikirin. Gimana izin, gimana sensor, gimana market captive-nya. Karena akhirnya kan cuma kelas menengah yang punya mobil,” kata Dimas.

Related

Indonesia 2153432103022637195

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item