Sejarah SDSB dan Kisah Money Game Terbesar di Indonesia


Naviri Magazine - SDSB merupakan kependekan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah. Dulu, SDSB marak diperjualbelikan dalam bentuk kupon. 

Bentuk fisiknya memang kupon, yaitu secarik kertas. Sebagai kertas saja, tentu masyarakat tak mau membelinya dengan uang seharga beras 2-3 kilogram. Agar mau, maka ada iming-iming hadiah. Dan agar tidak ada yang menuntut, maka dilabeli dengan istilah “sumbangan”. 

Kupon ini dulu marak beredar di periode tahun 1980-an sampai medio 1990-an. Gilanya, SDSB ini justru disponsori oleh Presiden Soeharto, dan hartanya diakumulasi dalam sebuah Yayasan SDSB, dan Soedomo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.   

TVRI sebagai stasiun Televisi Nasional pertama kala itu, juga sering menayangkan pertandingan tinju dunia dan sepakbola yang disponsori oleh Yayasan SDSB.   

Orang tua Anda pasti familiar, setiap kali ada pertandingan sepakbola dunia, yang di dalamnya ada kesebelasan Belanda yang dimotori oleh Ruud Gulit dan Marco Van Basten, Diego Armando Maradona (Argentina), penampilan Mike Tyson atau Muhammad Ali dalam tinju, TVRI selalu menyiarkannya. 

Dalam siaran tersebut ada running text yang menginformasikan bahwa acara tersebut terselenggara berkat kerja sama dengan Yayasan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). 

Karena dilegalkannya SDSB, masyarakat banyak terkelabui. Karena ingin mendapatkan nomor SDSB, banyak orang yang sampai tidur di kuburan, punden, dan nyepi di tepi sungai, tengah malam lagi. Padahal, anak dan istri di rumah menunggu penghasilan kerja.   

Bayangkan, uang 1.000 rupiah di tahun 1980-an itu bisa untuk membeli beras 3 kilogram. Namun, apa yang terjadi? Justru uang itu dipergunakan untuk membeli kupon SDSB oleh masyarakat awam yang tidak paham tersebut, dengan iming-iming akan mendapatkan imbalan yang besar. 

Imbalan dari mana? Tentu saja dari hasil "totohan" (taruhan). Totohan itu merupakan kegiatan penyerahan uang kepada suatu entitas judi. Namun, entitas judi ini, dulu dikamuflasekan dengan istilah "sumbangan" dengan janji manis berupa imbalan yang besar. 

Jadi, membeli kupon SDSB, adalah sama dengan membeli kupon taruhan. Masyarakat tidak pernah tahu, apa yang ditaruhkan. Yang jelas, pasti sebuah kegiatan semacam kasino perjudian yang akbar. Mengapa? 

Sebab, pejabat sekelas Menteri Koordinator Bidang Keamanan selama beberapa generasi Kabinet Pembangunan Lima Tahun (Pelita) justru yang merupakan komandan utama totohan tersebut. Dan Presiden Soeharto selaku Kepala Negara tidak berbuat apa-apa.   

Saking geregetnya pelegalan judi berupa Money Game dengan objek judi berupa kupon SDSB itu, sampai-sampai Rhoma Irama merilis sebuah lagu yang berjudul “Sumbangan” dan “Judi”. 

Nah, bagaimana tanggapan fiqih mengenai SDSB?   

Pertama, kupon SDSB bukan merupakan harta. Karena SDSB bukan harta, maka ketika kupon itu diperjualbelikan oleh para bandar, maka hukum jual belinya itu pada dasarnya tidak sah. Mengapa? Sebab, Kupon SDSB tidak memiliki nilai underlying asset. 

Karena tidak ada jaminan kepemilikan aset bagi pembelinya, maka seharusnya uang pembeli wajib dikembalikan kepada pembelinya. Dan ternyata hal ini tidak dilakukan. Uang pembeli hilang. Mereka hanya mendapatkan kupon yang tak berarti sama sekali.   Siapa yang kaya? Ya, pucuk pimpinan Yayasan SDSB. 

Seperti lirik lagu Bang Haji Rhoma Irama, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Bagaimana tidak kaya, mereka hampir setiap hari disumbang 1000-an rupiah oleh masyarakat yang dirundung mimpi-mimpi hadiah SDSB.   

Kedua, SDSB adalah harta mondial pertama kali dan merupakan kejayaan mekanisme MMM (Mavrodi Mondial Moneybox). Jadi, dalam sejarah kejahatan dunia lewat money game dengan objek harta mondial, sebenarnya bukan Sergey Mavrody pencetus utamanya. 

Pelajaran dari kasus SDSB Di era derasnya arus dan perkembangan informasi kali ini, pola SDSB kembali bangkit. Mereka memakai pola-pola lama, yaitu dengan memperhalus bahasa dengan istilah ta’awun (tolong-menolong), arisan, sumbangan, autogajian, dan lain sebagainya.   

Mekanismenya juga sama, yaitu menjanjikan pendapatan tanpa kerja. Hal yang diperjualbelikan tidak lagi berupa kupon, melainkan juga berupa poin. Namun, buntutnya, ada penyerahan uang dari masyarakat tanpa adanya imbal berupa barang.   

Untuk menutupi aksi kejahatannya, sudah pasti ada pihak yang diuntungkan karena merasa telah sukses mendapatkan penghasilan dari permainan (game) yang diciptakan oleh mereka.   

Kadang yang sulit diterima akal dan nalar adalah, mengapa budaya judi itu tidak mampu dideteksi oleh masyarakat? Ini uniknya. Padahal jelas, tidak ada kerja jual beli, dan tidak ada ruang investasi. 

Semestinya, dalam hal ini, sebagai orang yang berpikir, kita dituntut untuk bertanya: dari mana asal uang yang ia dapatkan jika (1) tidak ada kerja jual beli barang riil yang halal dan (2) investasi riil, serta (3) untuk mendapatkan pencairan penghasilan itu, ia harus berjibaku dalam skema game yang diciptakan oleh inisiator?   

Sudah pasti, pendapatan tanpa kerja dan tanpa investasi itu, yang biasa disebut passive income, berasal dari hasil memakan harta orang lain secara tidak sah. Tiap penghasilan yang didapat dari skema money game, tanpa kerja adalah tidak sah dan haram. Begitu pula SDSB. 

Kamuflase SDSB dulu memang dengan memperhitungkan angka. SDSB gaya baru mengelabui member dengan rentetan permainan yang rumit dan tampak seolah-olah wajar.   

Related

Indonesia 8411028129397336449

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item